Sabtu, 26 April 2014

KAMPUNG NAGA




BAB III
KONDISI LINGKUNGAN ALAM DAN KEPENDUDUKAN MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
A.    Sejarah Kampung Naga
Mungkin dalam pikiran kita pernah terlintas ketika mendengar nama Kampung Naga, bahwa di kampung ini terdapat ular naga atau fosil dan peninggalannya. Ternyata anggapan tersebut sangat berbeda dengan namanya, dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga atau segala peninggalannya yang berada di sana.
Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang masyarakatnya masih memegang teguh adat tradisi secara turun menurun. Mereka menolak budaya luar jika hal itu dapat merusak adat tradisi dari nenek moyang mereka. Tetapi, sejarah dan asal-usul kampung ini tidak memiliki titik temu. Tidak ada dokumen-dokumen atau arsip sejarah yang menjelaskan secara keseluruhan kapan, siapa, dan apa latar belakang berdirinya kampung ini. Masyarakat Kampung Naga pun menyebut sejarah kampungnya sendiri dengan sebutan “Pareum Obor”. “Pareum” apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Maksudnya mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya.
            Terdapat beberapa versi yang menceritakan asal-usul kampung ini yang didapat dari beberapa narasumber, pada zaman Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah bagian Barat. Kemudian ia tiba di daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, masyarakat Kampung Naga memberi julukan kepada Singaparna, yaitu Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia bersemedi, dalam persemediannya ia mendapatkan petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran cerita tersebut, karena adanya "pareum obor" tadi.
            Ada juga yang mengatakan asal-usul dari nama “Kampung Naga” yaitu berasal dari kata Bahasa Sunda “Gawir” yang artinya tepi sungai. Letak kampung tersebut berbatasan dengan sungai Ciwulan, oleh karena itu diberi nama Kampung Naga, maksudnya “Nagawir” atau kampung di tepi sungai.
B.     Kondisi Alam Kampung Naga
Kampung ini secara administratif terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Menurut data dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
Menurut data dari pengamatan sesaat, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah yang bisa dikatakan subur. Luas tanah kampung naga yang ada seluas 1,5 hektar, sebagian besar digunakan untuk perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali. Alamnya yang masih asri menjadikan kampung naga menjadi salah satu tempat yang cozy, nice and warm.
Adapun batas wilayahnya :
-      Di sebelah Barat adalah hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam
        leluhur masyarakat Kampung Naga).
-      Di sebelah Selatan sawah-sawah penduduk
-      Di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya
        berasal dari Gn.Cikuray di daerah Garut.
Menurut data dari Desa Neglasari, Struktur tanah pada area kawasan Kampung Naga berbukit-bukit sehingga perkampungan atau pemukiman masyarakatnya dibangun diatas tanah yang tidak rapi dan untuk mencegah kelongsoran dibentuk sengkedan yang terbuat dari bata/batu. Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk mengelompok  biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari bambu yang memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang dianggap kotor. Baik dari segi bangunan, bahan dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung Naga menunjukkan adanya keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas tanah Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha,sebagian besar digunakan untuk perumahan,pekarangan, koam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen satu tahun dua kali.
C.    Kondisi Kependudukan Kampung Naga
Berdasarkan hasil observasi dan sensus penduduk tahun 2004 masyarakat Naga berpenduduk kurang lebih 326 jiwa, yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Populasi kampung naga ini terus berkurang. Hal tersebut berarti bahwa jumlah penduduk perlahan makin kecil. Banyak orang muda yang pergi untuk mencari pekerjaan di tempat lain seperti Tasikmalaya, Bandung, Bogor dan Jakarta. Kuncen atau tetua kampung berkata, dulu ada 347 orang pada tahun 1979, 10 tahun kemudian ada 329 dan tahun 1991 hanya 319 orang yang terdiri atas kira-kira 100 keluarga. Penduduk Kampung Naga menganut agama Islam, yang dikombinasikan dengan kebudayaan setempat warisan dari nenek moyang dulu. Jumlah keseluruhan penduduk  sekitar 326 orang.
Dalam system kekerabatan masyarakat kampung naga menganut sistem Bilateral, yang artinya menarik keturunan dari garis ibu dan ayah. Sedang untuk sistem pemerintahan sendiri masyarakat kampung naga tetap mengakui adanya sistem kemasyarakatan Formal dan Non-formal.
          Dalam sistem formal meliputi kepala RT dan Kepala Dusun dan semua unsur yang terkait didalamnya, termasuk sistem pemerintahan. Dalam sistem Non-formal, masyarakat kampung naga mengenal dan mengakui adanaya Kuncen (juru kunci) sebagi pemangku adat. Ada juga Punduh yang berfungsi mengurusi masyarakat dalam kerja sehari-hari. Dirinya bertindak sebagai pengayom masyarakat apabila ada kegiatan kemasyarakatan. Begitupula dengan bidang keagaman yang diutus oleh Leube. Dirinya punya wewenag dan tanggungjawab dalam mengurus masyarakat pada masalah keagamaan dan hal lain yang terkait dengan agama
            Dalam sistem perekonomian kami fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
            Bangunan-bangunan yang ada di Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari 110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
D.    Sarana dan Prasarana di Kampung Naga
Hampir mirip dengan Baduy, kampung Naga kental akan nuansa alami dan tradisonal. Namun Masyarakat Kampung Naga nampaknya lebih terbiasa dengan para wisatawan, sehingga mereka cenderung beraktivitas seperti biasa meski ada wisatawan yang berlalu-lalang di sekitarnya.  Kehidupan keseharian mereka menyesuaikan dengan alam. Memulai aktivitas saat matahari terbit, berhenti beraktivitas saat hari mulai gelap. perabotan rumah tangga semacam kursi dan meja sangat minim digunakan.  Mereka  hidup tanpa listrik, tanpa ponsel apalagi TV Meski demikian bukan berarti mereka anti 100 persen terhadap teknologi, 

Lihat gambar diatas misalnya masih bisa bebas menelpon ditengah-tengah perkampungan untuk berkomunikasi dengan calon tamu-nya. Sebuah indikasi bahwa proses perubahan sosial yang berlangsung di komunitas masyarakat Kampung Naga. Mereka mulai menerima teknologi baru yang memiliki manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.  Dengan SMS, misalnya, warga semakin mudah menjual hasil produk pertanian mereka,hasil bumi, kerajinan tangan, maupun wisatawan seperti yang dilakukan orang di gambar.
Layanan seluler yang disediakan di kawasan ini, pada dasarnya adalah layanan publik untuk mendukung  pengembangan Kampung Naga sebagai desa adat dan desa wisata. Oleh karena itu layanan seluler berfungsi sebagai sarana pendukung yang disiapkan untuk mendukung komunikasi para pengunjung ke Kampung Naga.
Namun ketradisonalan lebih menjadi daya tarik tersendiri bagi kampong naga.

Sarana masak memasak yang amat unik dan tradisonal

Alat menumpuk padi





Kolam sarana budi daya ikan
Balai pertemuan

Kamar mandi dari bamboo

Tempat buang air besar/kecil



Rumah ternak domba


Goah tempa menyimpan lumbung padi

A.    Bentuk Rumah dan Fungsinya di Kampung Naga
Kampung Naga, salah satu permukiman tradisional rakyat Parahyangan. Berarsitektur adaptif, menyelarasi lingkungannya. Terletak di lembah subur, di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dusun ini dibatasi hutan, sawah, dan aliran sungai Ciwulan. Di capai setelah menuruni 300 anak tangga yang berkelok menuju lembah.
 


Gambar Anak tangga
Rumah dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105 buah, tertata rapi dalam pola mengelompok dan tanah lapang di tengah. Tanah lapang merupakan pusat aktivitas sosial dan ritual masyarakat, sekaligus tempat orientasi. Di sekitarnya ada masjid, balai pertemuan dan beberapa rumah penduduk. Di tempat yang lebih tinggi, sebelah barat kampung, terdapat Bumi Ageung dan rumah kuncen ( kepala adat ). Semua bangunan diletakkan memanjang ke arah barat timur, sehingga kampung seakan terlihat menghadap ke sungai Ciwulan yang berfungsi sebagai area servis penduduk. Dekat sungai, dalam kampung, terdapat kolam2 ( balong ) dan beberapa pancuran air.

Rumah yang saling berhadapan. Tidak ada pintu depan dan belakang.
Hunian masyarakat Naga berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 40-60 cm dari tanah. Selain untuk pengatur suhu dan kelembaban, kolong difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat pertanian, kayu bakar serta kandang ternak. Rumah-rumah persegi panjang ini ditata secara teratur di atas tanah berkontur berbentuk teras-teras yang diperkuat dengan sengked/ turap batu. Bentuk rumah panggung terkait kepercayaan warga Naga bahwa dunia terbagi menjadi dunia bawah, tengah dan atas. Dunia tengah melambangkan pusat alam semesta dengan manusia sebagai pusatnya. Tempat tinggal manusia di tengah, dengan tiang sebagai penopang yang tak boleh menyentuh tanah, sehingga diletakkan di atas tatapakan/ umpak batu.
Ukuran rumah tergantung besar kecilnya keluarga dan kemampuan penghuni. Jika perlu tambahan ruang, dibuatlah sosompang di bagian kiri atau kanan rumah. Memberi warna pada rumah adalah tabu, kecuali dikapur atau dimeni. Pintu harus menghadap utara atau selatan, semua pada satu sisi rumah, sesuai ketentuan adat.

Masjid di Kampung Naga. Di atas umpak batu, dari bahan kayu, bentuk simetris, tahan gempa. Kearifan leluhur. Inspiring, isn't it ?
Jenis konstruksi dan atap yang digunakan sangat genial dalam memecahkan masalah iklim setempat. Struktur tiang dan umpak membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur tanah. Umpak juga mencegah tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan serangan serangga tanah.
Ventilasi diatur agar rumah tetap kering dan sejuk, mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk atap pelana rumah adat Kampung Naga disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak ( bila sisi rumah ditambah sosompang ) dan terbuat dari ijuk. Selain kedap air, atap juga menjaga kehangatan rumah saat malam, karena teritis antar rumah yang nyaris bersentuhan itu membentuk lorong yang mengurangi masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia tak boleh menentang kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah edar matahari, diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk menghindari mala petaka.
Dinding anyaman bambu, menyekat muka tengah belakang rumah. Dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam ( bilik ). Jenis anyaman sasag paling banyak digunakan karena kuat dan tahan lama. Anyaman bercelah tsb, terutama dipakai untuk dinding dan pintu dapur, sesuai ketentuan adat. Untuk keperluan bahan baku bilik, penduduk yang hampir seluruhnya perajin bambu, menanam bambu di sekitar kampung dan hutan.
Pada dasarnya rumah di Kampung Naga terdiri 3 bagian ; muka ( hareup ), tengah ( tengah imah ) dan belakang. Bagian depan berupa teras/ emper, tempat menerima tamu yang dicapai dengan menaiki gelodog ( tangga ). Bagian tengah adalah ruangan besar tempat keluarga serta tamu berkumpul ketika acara selamatan. Di sebelahnya, pangkeng/ enggon ( kamar tidur ), yang kadang hanya berupa area kosong, tanpa penyekat atau pintu, di sudut ruang tengah. Dapur dan padaringan/ goah ( tempat penyimpanan beras ) terletak di bagian belakang, tempat yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan kaum perempuan.
Arsitektur tradisional Kampung Naga, walau dibuat dengan pengetahuan teknis sederhana yang banyak terkait dengan kepercayaan, ternyata secara logis, efektif mencapai keselarasan dengan lingkungan yang telah lama dipelihara dan dilestarikannya.

Rumah dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105 buah, tertata rapi dalam pola mengelompok dan tanah lapang di tengah.

Bangunan-bangunan yang dianggap bersih
1.      Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih keci ldibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti yangsangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena dijadikan tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat tinggal tokoh yang palingtua usianya diantara warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak pada teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi terbuat dari bambu dandirangkap dengan pagar hidup dari hanjuang.
2.      Masjid dan Bale patemon
Masjid dan bale petemon Kampung Naga terletak di daerah terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di depan lapangan milik wargamasyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon merupakan dua bangunanyang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah masyarakat.Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara bale patemon mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah milik masyarakat Kampung Naga.
3.      Leuit / lumbung padi       
Leuit (lumbung), merupakan bangunan yang terletak di sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit berfungsi untuk menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi tersebut biasa digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun yang lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya.Bangunan leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam kawasan bersih milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan ke dalam leuit padi dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk ditumbuh.
4.       Rumah warga
     Rumah yang berada dikampung naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 110 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah masjid, leuit (lumbung padi) dan patemon (balai pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah bangunan rumah tidak boleh lebih dari 112 . dengan luas rumah rata-rata 7x8 meter, dengan menghadap arah Utara dan Selatan
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran.
Pemangku adat pun memandang masyarakat Kampung Naga tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.
Tepas imah sekaligus berfungsi sebagai filter yang menyaring berbagai kemungkinan pengaruh buruk yang akan masuk kedalam rumah. Oleh karena itu, tepas imah juga dilengkapi dengan penolak bala yang terbuat dari ketupat yang diisi beras dan di doa oleh bapak lebe pada saat bulan Muharam diganti setahunsekali.Ini dipercaya oleh masyarakat Kampung Naga sebagai penolak bala yang menjaga seluruh penghuni rumah. Setahun sekali, setiap bulan Muharram. Letak pintu depan tempat menggantung penolak bala tersebut tidak boleh sejajar dengan pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan posisi pintu yangseperti itu dipercaya masyarakat tidak akan membawa keberuntungan. Selain itu,mereka juga mempercayai bahwa posisi pintu tempat menggantung tangtangangin yang sejajar dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi bagi pemiliknya, karena rezeki yang datang dari pintu depan akan langsung keluar melalui pintu belakang tanpa sempat mampir di dalam rumah tersebut.
5.       Tengah Imah
Tengah imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat Kampung Naga. Sebagai ruang tengah, tengah imah berfungsi sebagai ruang tempat keluarga berkumpul. Bagi mereka yang memiliki anak, ruang tersebut berfungsisekaligus sebagai ruang belajar bagi mereka. Namun karena rumah masyarakat Kampung Naga rata-rata berukuran 6x8meter, pada malam hari tengah imah sering dijadikan tempat tidur untuk anak-anak, atau sanak keluarga yang menginap. Walau demikian, antara tengah imah dengan tepas imah tidak memiliki pembatas. Sehingga jika dirasa masih kekurangan tempat, tepas imah biasa juga dijadikan tempat untuk tidur.
6.      Pangkeng
Pangkeng artinya ruangan tempat tidur. Untuk mereka yang memiliki rumah lebih besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata-rata luas bangunannya terbatas, kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki satu pangkeng.
7.      Dapur dan Goah
Dapur dan goah merupakan kebalikan dari tepas imah karena wilayah inimerupakan wilayah kekuasaan kaum wanita. Di ruang inilah sebagian besar kaumwanita masyarakat Kampung Naga menghabiskan waktunya.
Dapur berfungsi sebagai tempat memasak dan menyediakan hidangan. Sedangkan goah merupakan tempat penyimpanan beras atau gabah, dan bahan kebutuhan pokok lainnya.
Untuk meringankan pekerjaan, letak dapur dan goah sengaja dibuat secara berdekatan.
8.      Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan  bagian bawah lantai rumah. Tingginya kurang lebih 60 sentimeter. Kolong imah biasanya dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat pertanian, atau bisa juga dipakaisebagai tempat memelihara ternak seperti ayam, itik dan sebagainya
Bangunan yang dianggap kotor
Yang dimaksud kawasan kotor adalah kawasan yang peruntukkannya sebagai kawasan kelengkapan hidup lainnya yang tidak perlu dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan tanahnya lebih rendah dari kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung lisung, dan kolam.
a.       Saung lisung/ tempat menumbuk padi
Saung lisung, merupakan tempat masyarakat Kampung Naga menumbuk  padi. Bangunan ini dibuat terpisah dari perumahan, yaitu dipinggir (atau diatas) balong (kolam ikan). Hal ini bertujuan agar limbah yang dihasilkan dari saunglisung yaitu berupa huut (dedak) dan beunyeur (potongan-potongan kecil dari beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi makanan ikan. Dengan demikian, praktis limbah yang dihasilkan tidak mengotori sektor bersih (perumahan) milik warga. Demikian juga dengan kandang ternak. Kandang tersebut ditempatkan diatas balong yang langsung bersisian dengan sungai Ciwulan. Limbah yangdihasilkan kandang tersebut ditampung ke balong, atau langsung dialirkan kesawah-sawah milik warga.
b.      Pancuran, pacilingan atau tampian
Pancuran, pacilingan atau tampian (jamban) merupakan suatu bangunan yang ukurannya bervariasi antara satu sampai empat meter bujur sangkar. Dinding bangunan tersebut terbuat dari bilahan-bilahan pohon enau atau bambugelondongan yang dirakitkan. Pancuran ini kadang diberi atap (ijuk dan daun tepus), atau dibiarkan terbuka. Airnya dialirkan melalui pipa-pipa yang terbuat dari bambu gelondongan. Ketinggian jatuhnya air ke lantai jamban sekitar 60-100cm. Aliran air yang demikianlah yang dikenal masyarakat Sunda dengan sebutan pancuran.
Air pancuran langsung disadap dari selokan air atau lebih langsung lagi dari seke atau sumur (mata air). Pancuran ditempatkan diatas balong-balong dengan ketinggian dari permukaan air balong sekitar 0,25 sampai 0,50 meter. Dengan demikian, semua kotoran langsung jatuh ke dalam balong sebagai makanan ikan dan penyubur lumpur balong.
Lumpur balong yang subur ini sekali atau dua kali dalam setahun dialirkan masyarakat ke sawah. Jelasnya balong tersebut memiliki fungsi yang banyak diantaranya adalah:
1.      sebagai tempat pemeliharaan ikan
2.      digunakan sebagai tempat MCK
3.       sebagai tempat penghancur kotoran
4.      sebagai penyimpanan pupuk untuk menambah kesuburan sawah-sawah di sekitarnya.












BAB IV
KAJIAN MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
A.    Asal Mula dan Sejarah Masyarakat Kampung Naga
Jika kita berkunjung ke Kampung Naga maka jangan salah apabila anda tidak menemukan seeokor Naga atau apapun yang berhubungan dengan Naga. Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor".
Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia.
 Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi  bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan koordinat Latitude -7.363722 dan Longitude 107.994425 , seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya.
 Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi.
Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga.
Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.
B.     Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga
Agama yang di anut oleh masyarakat kampong Naga adalah islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya.
Karena di kampong naga tidak menggunakan listrik, maka cara untuk menggunakan alat pengeras suara ketika akan datang waktu nya beribadah maka mereka menggunakan bedug yang mana bedug tersebut menggeluarkan suara dan adapun azannya tetap di kumandangkan seperti biasanya yang berbeda itu tidak menggunakan pengeras suara.
Dalam menjalan kan ibadah shalat masyarakat kampung naga itu sama seperti yang di cantumkan dalam kitab Al-Quran yang mana melakukan shalat wajib lima waktu dalam sehari, menjalankan ibadah shalat jum’at yang pengerjaannya di lakukan satu minggu sekali oleh laki-laki yang ada di kampong naga, adanya nya shalat idhul fitri dan idhul adha yang di lakukan satu tahun dua kali dalam pengerjaanya. Itu semua mengikuti ajaran yang di lakukan oleh nabi Muhammad dan tercantum dalam Quran dan Hadis semua ibadah tersebut dan merupakan ajaran yang di lakukan oleh para leluhurnya.
Dan dalam pelaksanaanya pun pakaian yang di pakai oleh masyarakat kampung naga ketika akan melaksanakan ibadah shalat tidak di haruskan memakai pakaian yang baru dan bagus juga khusus yang wajibkan adalah menggunakan pakaian yang bersih dan tidak kotor ketika akan melaksanakan Ibadan shalat.
Dalam system religi  mereka punya kebiasaan ataupun memiliki suatu adat kepercayaan dimana ada beberapa hari yang di tabu kan, seperti hari selasa, rabu dan sabtu. Dimana pada hari-hari tersebut masyarakat kampong naga tidak di perbolehkan untuk membicarakan apapun yang berkaitan dengan kampong naga, Karena dalam hari-hari tersebut itu merupakan hari tabu atau hari larangan yang di percayai masyarakatnya dimana tidak di perbolehkan membicarakan apapun yang berkaitan dengan kampong naga, baik itu asal usulnya ataupun lainnya. Namun apabila kegiatan lainnya seperti membuat rumah dan melakukan acara pernikahan itu di perbolehkan.
Satu tahun ada dua bulan yaitu puasa dan sapar, hal-hal yang tidak di perbolehkan dalam bulan tersebut adalah hanya dua kegiatan  yang pertama tidak boleh melaksanakan jiarah ke makam dan yang kedua tidak boleh menceritakan silsilah atau sejarah kampong naga atau apapun yang berkaitan dengan kampong naga.
Adapun larangan dan tatakrama yang berlaku dan mesti di patuhi  oleh  masyarakat Kampung Naga, karena menganut kata Pamali = amanat ,wasiat, akibat. Yaitu :
Bilamana beristirahat ataupun tidur di kampong naga, kaki tidak di perbolehkan melonjor mengarah ke kiblat. Begitupun untuk buang air kecil tidak diperboleh kan untuk mengarah kearah kiblat.
Dalam bertingkah laku masyarakat nya  tidak boleh ngawadon (main perempuan), ngadu (judi), ngamadat (mabok-mabokan), ngawadul (berbohong), jalir tina jangji (ingkar janji), hidra tina subaya, iri dengki, jail jeung aniaiya.
Kuncinya adalah  yang dilarang oleh agama dan tau mana yang baik dan mana yang buruk yang mesti di kerjakan dan yang  mesti di jauhkan  
Dan yang harus di lakukan atau sifat yang mesti ada pada setiap diri masyarakatnya adalah : kudu nyaahan, deudeuhan, welasan, asihan, nulung kanu butuh, nganteur kanu sieun,ngahudang keun kanu labuh, nalang kanu susah , nyaangan kanu poekeun, jeung ngahudang keun kanu titeuleum. di masyarakat kampong naga itu bergaul dengan siapapun boleh, penuntut ilmu itu harus  asal tidak terlepas dari agama islam yang di anutnya.
Pemakaman terbagi dua bagian, yang pertama ada pemakaman khusus dan ada pemakaman umum. Ada yang di namakan nyusur tanah bila ada salah satu masyarakat kampong naga yang meninggal dan di kuburkan di pemakaman umum, lalu ada dimana 3 harian setelah proses pemakaman, ada 7 na dimana di acara 7 harianna ini masyarakat membaca Al-Quaran bersama, dan 40 harianna dalam prosesnya itu sama seperti pada 7 harianna yaitu membaca Al-Quran satamatan.
Kepercayaan yang di anut oleh masyarakat kampong naga seperti adanya hutan larangan sebelah timur sungai ciwulan dimana tidak diperbolehkan untuk menginjak di hutan tersebut dan mengambil suatu barang hal apapun yang berasal dari hutan larangan tersebut.  dan hutan keramat yang letaknya di barat dan selatan. yang dimana memiliki filosofi untuk menjaga alam dan memeliharanya. Karena hidup di dunia ini satu sama lainnya beriringan dan saling bergantungan antara manusia dan alam maka perlu adanya rasa saling mejaga. untuk hutan keramat tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam hutan tersebut (hanya juru kunci/kuncen) dan fungsi dari adanya hutan keramat tersebut adalah untuk menyimpan beda-beda yang di anggap keramat bagi masyarakat kampong naga dan kegiatan berjiaran kemakam yang di lakukan satu tahun enak kali yang hanya bisa di lakukan oleh juru kuncen. Dan adapun rumah yang di batasi oleh pagar di depannya itu pun tidak di perkenankan untuk masuk tetapi bila ingin mengembil gambar rumah tersebut di perbolehkan asal pengambilan gambar harus berada pada jarak kira-kira 10 – 15 meter yang dinamakan bumi ageung.
C.    Sistem Pengetahuan Masyarakat Kampung Naga
Sistem pertanian pada masyarakat kampung naga yaitu setiap 6 bulan sekali memberikan  hasil panen ke lumbung padi umum dan menyimpannya, lumbung padi umum itu berisikan dari hasil-hasil panen dari setiap warga masyarakat kampung naga untuk acara-acara ritual , acara ritualnya itu seperti acara memperingati tahun baru islam (bulan muharam), menyambut lahirnya nabi Muhammad SAW (rabiul awal) dan rabiul akhir.
Dalam 1 tahun bisa di lakukan  2 x panen, untuk awal penanaman di katakan JANLI  (singkatan dari Januari dan juli). Hasilnya di utamanan untuk persediaan selama 6 bulan, bilama ada lebihnya maka akan di jual untuk membeli pupuk atau mengolah tanah lagi karena masyarakat kampung naga menggunakan dua jenis pupuk yaitu pupuk organik dan kimia. Masyarakat kampung naga pun pandai mengolah batang bamboo , dan tempurung, yang di olah menjadi suatu bentuk kerajinan tangan khas mayarakat kampong naga dan itu pun dapat menjadikan suatu mata pencaharian oleh masyarakat kampung naga.
Obat –obatan tradisional masyarakat kampung naga masih menggunakan dan di ambil dari daun-daunan yang tumbuh di sekitar lingkungan kampung naga atau yang di sebut dengan obat-obatan tradisional, bila ada masyarakatnya yang panas dalam dapat menggunakan daun dadap yang masih muda, dimana cara penyajiannya itu air dan daun dadap di satukan lalu peras daunnya, setelah di peras dari daun tersebut yang di minumkan pada penderita panas dalam tersebut.
Selanjutnya, bila Sakit gigi ataupun mengobati gigi yang berlubang menggunakan pucuk bamboo muda dan garam, kemudian di teteskan pada bagian yang sakit. Adapun menggunakan tanaman jawer kotok yang di seduh mengggunakan air dan di campur garam. Bila warna dari air yang di campur tanaman jawer kotok dan garam itu berrubah maka langkah selanjutnya adalah berkumur-kumur lah menggunakan air tersebut yang fungsinya untuk mengeluarkan ulat kecil yang bersarang di gigi yang berlubang.
Apabila ada seorang yang sakit maka langkah pertaman adalah memberikan obat-obatan tradisional yang berbahan dasar dari alam tersebut. Namun, apabila sakitnya tidak kunjung sembuh maka yang di  perlukan adalah adanya penanganan dari dokter atau puskesmas yang ada di daerah kampung naga.
Apabila ada wanita yang akan melahirkan di kampung naga maka penaganan dari dukun beranak dan dibantu dengan bidan lah yang akan di lakukan.
Sistem KB pada masyarakat kampong naga sudah ada sebelum  pemerintah melakukan program KB yang ada seperti sekarang, namun program KB yang di lakukan oleh wanita masyarakat kampung naga adalah KB yang masih tradisional yang di bantu oleh indung beurang (paraji) dan bidan.  
D.    Sistem Teknologi Masyarakat Kampung Naga
Teknologi masyarakat kampong naga masih sangat sederhana masih menggunakan peralatan tradisional dalam kesehariannya seperti pacul, padi nya masih di tumbuk memakai lesung.
Untuk bagunan tidak boleh merubah bentuk dan bahan, untuk bahan ada 7 jenis dan bahan-bahan yang di gunakanpun masih bahan-bahan yang berasal dari alam dan peralatannya masih tradisional, berikut ada 7 jenis bahan pembuatan rumah yaitu berupa :
§  Kayu bamboo
§  tepus (untuk atap)
§  aren (lapisan yang di gunakan untuk lapisan kedua pada atap)
§  paku
§  kapur
§  podasi untuk rumah yang menggunakan batu
Alasan mengapa kampong naga tidak menggunakan teknologi listrik dalam melakukan aktifitas dalam kesehariannya karena ada beberapa  hal yang di takut kan oleh masyarakat kampung naga :
§  pertama, terlihat adanya suatu kesenjangan sosial atara yang kaya dan yang miskin yang termasuk dalam system kesederhanaan
§  kedua, takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti adanya bencana kebakaran
namun, untuk alat penerangan dimalam hari masyarakat kampong naga biasanya menggunakan alat yang di sebut cempor untuk penerangan atau taplomak yang menggunakan bahan bakar minyak tanah.
sebenarnya listrik pada tahun 1976 itu sudah bisa masuk di wilayah kampung naga dan merupakan  pemberian dari belanda juga akan memberi turbin, itu semua tidak dipungut biaya  hanya menerima tak usah bayar. waktu itu sesepuh yang ada di kampung naga  berdiskusi dan menyimpulkan bahwa kampong naga belum bisa menerima teknologi tersebut karena para sesepuh dari kampung naga memiliki alasan bahwa bagunan yang ada di kapung naga ini mudah terbakar bila mana adanya koslet yang di timbulkan dari listrik tersebut.
E.     Kelompok Sosial dalam Masyarakat Kampung Naga
Kelompok sosial yang terjadi dalam masyarakat kampung naga tidak begitu terlihat, karena bisa dibilang pengelompokan tidak terjadi dalam masyarakat ini. Pengelompokan hanya terjadi karena faktor kekuasaan atau pemerintahan seperti jabatan Kadus (kepala dusun) dan Kuncen (juru kunci). Mereka menjalankan kekuasaan dan bermufakat dengan sesama para pejabat dikampung naga tersebut, dan pengelompokan dalam mata pencaharian ketika sedang bekerja, seperti para pengrajin akan berkumpul bersama-sama dalam membuat kerajinan dirumah salah satu warga yang dikiranya nyaman untuk bersantai sembari membuat kerajianan tersebut, atau para petani yang berkumpul di sawah ketika bekerja, tetapi dalam kehidupan seseharinya mereka berbaur kembali dengan masyarakat seperti biasanya, tidak ada kelompok-kelompok yang pada akhirnya menghasilkan kelompok mayoritas, minoritas atau bahkan menimbulkan kelompok dominan dalam masyarakat kampung Naga.
            Kehidupan hubungan masyarakat kampung Naga begitu kuat tali silaturahminya, karena mereka memegang tinggi nilai-nilai kegamaan yang pada dasarnya membuat mereka berbudi baik dan memilki sikap saling menghargai dan toleransi yang begitu tinggi, sehingga jarang terjadi perselisihan dalam kehidupan. Sehingga sangat sulit dalam masyarakat kampung naga terjadi pengelompokan sosial.
            Dalam penilaian masyarakat kampung naga, kelompok sosial hanya akan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang tidak terduga dari setiap individu masyarakat.
F.     Stratifikasi Sosial Masyarakat Adat Kampung Naga
Stratifikasi dalam masyarakat kampung Naga terstratifikasi hanya berdasarkan derajat kepemimpinannya dalam msyarakat adat kampung Naga saja, tidak terjadi dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat kampung Naga. 



KUNCEN merupakan ketua adat di kampung naga, yang Bertugas sebagai pemangku Adat dan bertanggung jawab atas keberlangsungan dan terjaganya kelestarian adat. Saat ini di kampung naga, kuncen masih dipegang oleh Bapak Ade Suherwin dan wakilnya Bapak Henhen.
LEBE Bertugas dalam proses keagamaan terutama mengenai pengurusan jenazah, saat ini Lebe di jabat oleh Bapak Ateng.
PUNDUH Bertugas dalam ngurus laku meres gawe, yaitu mengayomi masyarakat dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat, yang saat ini dijabat oleh Bapak Ma’un.
            Umumnya stratifikasi sosial terjadi dalam bidang ekonomi, tapi hal tersebut  tidak terjadi dalam masyarakat kampung Naga, mereka tidak memilki sifat untuk saling bersaing dalam kemajuan ekonomi keluarga, jikalau pun ada tidak begitu terlihat karena tingginya sifat saling menghargai. Mereka akan malu atau hormat kepada orang yang tidak mampu, sehingga tidak ada niat dalam benak masyarakat kampung naga untuk menonjolkan diri dalam bidang-bidang tertentu. Karena dalam tradisi masyarakat kampung Naga memberlakukan bahwa atribut yang sekiranya berdampak pada adat kampung Naga harus ditinggal diluar daerah Kampung Naga.
            Jika terjadi Perubahan sosial dalam bidang ekonomi atau dalam bidang pendidikan, umumnya masyarakat lebih memilih untuk mengembangkannya diluar daerah kampung Naga, selain alasan karena daerah kampung naga yang daerahnya sulit untuk mengembangkan potensi usaha, karena secara turun temurun mereka meyakini untuk tetap menjaga alam sehingga hutan yang ada disekeliling kampung Naga tidak ada campur tangan manusia yang hanya merusak alam saja, ataupun keterbatasan tempat untuk membangun fasilitas sekolah.
            Masyarakat Kampung Naga banyaknya sesepuh yang sangat mejunjung tinggi nilai adat daerah tersebut, sehingga pikiran modern atau sifat terbuka terhadap sifat-sifat dan budaya luar hanya dimilki oleh anak-anak yang sekolah dan mulai mengenal dunia luar yang sudah sedikit jauh dari kearifan lokal Indonesia sendiri, yang membuat para pewaris mengembangkan diri dan potensinya diluar daerah kampung naga, tetapi harus ada salah satu dari keturunan yang wajib menempati dan meneruskan tempat leluhurnya ketika leluhurnya sudah meninggal.
A.    Mobilitas social Masyarakat Kampung Naga
Mobilitas sosial juga terjadi dalam masyarakat adat Kampung Naga, karena masyarakat sudah menerima perubahan sosial yang terjadi namun tidak meninggalkan budaya asli yang mereka miliki. Akulturasi yang terjadi dimasyarakat kampung adat ini.
Masyarakat kampung Naga akan berpindah kedaerah luar jika ingin mengembangkan diri seperti halnya masyarakat luar. Namun harus tetap ada orang yang meneruskan atau menmpatkan kediaman yang ada di kampung Naga.
Pada zaman dahulu, masyarakat kampung Naga belum mengenal pendidikan, Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi ada pula yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula. namun pada saat ini sudah banyak dari keturunan mereka yang mengalami perubahan dan pergerakan sosial, ada yang sudah menjadi guru, pengusaha dan lain-lain karena sudah menempuh pendidikan yang mereka jalani.
Jadi untuk mobilitas sosial masyarakat kampung naga tidak sepesat yang terjadi diluar atau dikota, setinggi-tinggi nya jabatan pekerjaan yang mereka peroleh diluar daerah, suatu saat nanti di hari tua mereka akan tetap menjadi orang kampung adat didaerah kampung Naga juga, untuk meneruskan lelulurnya.
B.     Kesenian Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terebang, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, dangdut,  dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga. Kesenian di Kampung Naga diantaranya :
1.      Terbang atau terbang gembrung
Terbang atau terbang gembrung hampir sama dengan rebana yang biasa dimainkan dalam kasidahan. Alat musik tradisional tersebut terbuat dari dua bahan dasar. Bingkainya yang merupakan tabung suara, terbuat dari bahan kayu yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk pipih dan bundar. Bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pada salah satu sisi yang dijadikan muka terbang kemudian ditutup dengan kulit domba. Sekeliling pinggir terbang kemudian dipasang tali melingkar sehingga menyerup gelang. Tali tersebut berfungsi menjadi pengikat sisi-sisi kulit domba.
Untuk memperoleh suara yang diinginkan, di sekeliling tali pengikat tersebut dipasang “pen” yang berfungsi sebagai penahan dan sekaligus pengatur nada suara. Jika akan dimainkan, bagian pada permukaan terbang itulah yang ditepak-tepak oleh telapak tangan para pemain. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 101-102).
Terbang dalam kesenian masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah. Terbang pertama disebut tingting, ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang kedua yang disebut kemprong. Sedangkan kemprong ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang ketiga yang disebut bangpak. Terbang keempat merupakan terbang yang paling besar dan disebut brumbung.
Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Para pemainnya duduk berjajar berurutan berdasarkan ukuran terbang yang akan dimainkan. Penyajian kesenian tersebut biasanya dimainkan bersama nyanyian yang disesuaikan dengan irama yang dibawakan. Pada umumnya, lagu-lagu yang dibawakan menggunakan Bahasa Arab yang intinya berupa puji-pujian untuk mengagungkan kebesaran Tuhan dan salam serta shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Masuknya terbang gembrung sebagai kesenian masyarakat Kampung Naga diduga kuat berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Nusantara. Karena itu, kesenian tersebut biasanya digelar pada saat menyambut hari suci, misalnya hari raya Iedul fitri atau hari raya Iedul Adha. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 102)
2.      Angklung
Jenis kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat angklung yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan ukuran yang berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung di daerah lainnya. Cara memainkannya dilakukan dengan menggoyang-goyang instrumen musik bambu tersebut.
Dalam fungsinya sebagai alat hiburan, kesenian angklung digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk mengiringi jempana yang memuat hasil pertanian mereka, misalnya saat peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat dari potongan bambu dengan bentuk menyerupai trapesium. Untuk memudahkan mengangkutnya, pada bagian bawah jempana dipasang bambu yang berfungsi sebagai pikulan.
Selain untuk mengarak jempana angklung juga digunakan untuk mengiringi rombongan peserta upacara gusaran dalam pelaksanaan acara khitanan anak-anak masyarakat Kampung Naga dan Sanaga. Namun karena kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi religius, kesenian angklung digunakan pula sebagai tradisi untuk menghormati Dewi Sri Pohaci. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal 103-104).
3.      Beluk dan rengkong
Beluk dan rengkong merupakan dua jenis kesenian masyarakat Kampung Naga yang sudah jarang dijumpai. Dilihat dari fungsinya, terutama seni beluk mencerminkan fungsi solidaritas sosial antara satu warga dengan warga lainnya.
Seni beluk merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak menggunakan nada-nada tinggi. Para pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih. Kesenian ini biasa dimainkan pada malam hari, dan para pemain secara bergiliran membaca syair lagu dan kemudian menyanyikannya. Isi nyanyian biasanya diambil dari wawacan. Wawacan adalah cerita yang menggunakan Bahasa Sunda.
Wawacan dalam seni beluk biasanya ditulis dalam huruf Arab. Sedangkan tema ceritanya diangkat dari kisah-kisah kepahlawanan Shahabat Ali bin Abi Thalib dalam menyebarkan agama Islam. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal105-106).
4.      Terebang Sejat
Terebang sejat merupakan alat musik yang dimainkan oleh 6 orang dan dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
C.    Bahasa Masyarakat Kampung Naga
Dalam kesehariannya, masyarakat kampung naga mayoritas berkomunikasi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa utamanya. Adapula masyarakat kampung naga yang bisa berbahasa Indonesia itupun hanya digunakan apabila bercakap – cakap dengan wisatawan.
D.    Peranan pemimpin Informal dalam Masyarakat Kampung Naga
Setiap masyarakat adat selalu mempunyai dua pemimpin. Pemimpin pertama sering disebut pemimpin formal, merupakan perpanjangan birokrasi. Sedangkan pemimpin yang kedua adalah Kepala Adat. Karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan birokrasi, kepala adat sering disebut pemimpin in formal. 
Dalam birokrasi terdapat kepala RT, Kepala RW, dan Kepala Dusun atau yang biasa disebut dengan Kudus. Sedangkan kepemimpinan in formal di Kampung Naga adalah:
1.      Kuncen
Kepala adat dalam masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Kuncen adalah juru kunci (tempat-tempat keramat dan sebagainya) yang juga mengetahui riwayat tempat yang dijaganya. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 541) Kata lain dalam bahasa Sunda sama dengan pancen atau tugas. Seorang Kuncen sama artinya dengan orang yang mengemban tugas atau pancen. Namun, karena sebagian besar tugas Kuncen dipegang oleh kaum laki-laki, mereka biasa disebut pula sebagai Pakuncen. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal.35)
Dalam masyarakat Kampung Naga, Kuncen merupakan pemangku adat sekaligus pemimpin masyarakat. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya, hal. 36) Kuncen memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakatnya, baik yang berhubungan dengan adat, maupun dengan tugas-tugas dari pemerintahan setempat. Tugas lain yang dimiliki Kuncen adalah bertanggung jawab untuk menjaga, melaksanakan dan memimpin acara-acara adat.
Kuncen merupakan orang terpilih yang ditentukan oleh sesepuh masyarakat Kampung Naga. Kuncen Kampung Naga diangkat berdasarkan keturunan dari Kuncen-Kuncen sebelumnya. Masa tugas Kuncen adalah selama hayat masih dikandung badan (seumur hidup). Kecuali dengan beberapa alasan diantaranya sudah terlalu tua, atau tidak bisa menetap di Kampung Naga, sehingga secara otomatis tidak secara langsung memimpin disana.
2.      Lebe
Lebe atau amil adalah orang yang bertugas untuk mengurus orang yang sudah meninggal. Dia bertanggung jawab untuk mengurus mulai dari awal sampai akhir yaitu penguburan dan acara tahlilan. Selain itu, lebe juga bertugas menjadi pemimpin do’a dalam setiap acara ritual di Kampung Naga. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
3.      Punduh adat
Punduh adat di Kampung Naga bertugas untuk ngurus laku meres gawe. Ngurus laku berarti mengurus dan memperhatikan perilaku masyarakat. Sedangkan meres gawe berarti bertanggung jawab memimpin pekerjaan bersama yang dilakukan masyarakat. Misalkan membangun rumah, memperbaiki mesjid, bale dan sebagainya. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
Selain itu tugas punduh adat adalah menjadi penasehat baik Kuncen maupun masyarakat. Punduh adat mempunyai hak untuk memberi masukan atau nasehat kepada Kuncen dalam mengambil keputusan. Bagi masyarakat punduh adat juga mempunyai wewenang untuk menasehati atau bahkan menegur masyarakat yang melanggar adat. Kesehariannya, punduh adat harus selalu berada di dalam kampung agar dapat selalu mengawasi detail kehidupan masyarakatnya.
4.      Jajaran Sesepuh
 Jajaran sesepuh merupakan korps sesepuh Kampung Naga. Termasuk didalamnya lebe dan punduh adat. Hanya saja jajaran sesepuh ini ditambah dengan sesepuh-sesepuh dari sanaga. Sanaga artinya masyarakat yang masih mengatut dan mengikut aturan-aturan adat yang ada di Kampung Naga. Sesepuh sanaga merupakan perpanjangan Kuncen. Mereka bertugas selain sebagai penasehat bagi Kuncen juga sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap sanaga jika ada acara-acara ritual di Kampung Naga, atau ada acara lain yang memerlukan bantuan mereka. (Henhen Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
5.       Patunggon Bumi Ageung
Patunggon Bumi Ageung merupakan wanita paruh baya yang menjadi penunggu Bumi Ageung. Wanita patunggon haruslah merupakan wanita yang sudah menapouse. Ia bertugas menjadi penjaga dan pemelihara Bumi Ageung. Selain itu ia juga yang nanti bertugas membawa kendi yang berisi air untuk dipakai berkumur oleh Kuncen dan lebe dalam rangkaian acara ritual Hajat Sasih.
Adapun pemimpin formal yang ada di Kampung Naga hanya terdiri dari satu ketua Rukun Tetangga (RT). Ia bertugas sebagaimana tugas-tugas RT di tempat lain. (Rismana, Ketua RT Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Hanya saja secara adat, ketua RT yang ada di Kampung Naga hanya pelaksana teknis dari hasil-hasil kompromi antara pemangku adat dengan pemerintah setempat. Setiap rencana kegiatan di kampung atau kegiatan yang diturunkan dari desa, senantiasa dibawa terlebih dahulu ke musyawarah kampung yang diadakan di bale kampung. Musyawarah dipimpin langsung oleh Kuncen, sementara anggota musyawarah terdiri dari para sesepuh Kampung Naga sebagai penasehat dan narasumber bagi Kuncen. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya,
E.     Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Naga
Berdasarkan pada pemaparan kepala dusun kampung naga bapak Suharyo pada 19 januari 2014. Masyarakat kampung  naga menganut system kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan di tarik dari garis laki-laki atau pihak ayah, terutama dalam pemilihan kuncen yang bersifat turun temurun.
Sistem pernikahan di masyarakat kampung naga bersifat eksogami dalam artian pernikahan bisa berlangsung keluar dan kedalam masyarakat. Misalkan antara pemuda kampung naga dengan pemudi di luar kampung naga, maupun sebaliknya. Dalam pernikahan di masyarakat kampung naga tidak ada sistem perjodohan, karena berpijak pada petuah sesepuh bahwa jodo, pati, bagja cilaka, rahasiah Allah (jodoh, mati, bahagia, sengsara, rahasia Allah), sespuh bekata bagi laki-laki silahkan cari perempuan, bagi perempuan silakan cari laki-laki, baik berbeda suku, berbeda bahasa, atau warna kulit tidak jadi masalah asalkan satu agama yaitu muslim.
Upacara pernikahan di kampung naga bisa dikatakan cukup sederhana tidak ada istilah undangan, hanya kabar dari mulut kemulut, acara akad nikah di langsungkan di mesjid kampung, setelah itu ada syukuran dari pihak keluarga mempelai. Masyarakat kampung naga percaya bahwa kelanggengan suatu pernikahan tidak bisa di jamin oleh kemeriahan pesta. Masyarakat kampung naga tidak ada yang melakukan pernikahan polgami atau pernikahan lebih dari 1 dalam waktu yang satu waktu ada dalam aturan adatnya bahwa “hiji teu seep, sapuluh teu wareg” maksudna satu istri pun tidak habis, dan sepuluh tidak akan cukup. Untuk masalah tempat tinggal setelah menikah, diserahkan kepada pasangan yang bersangkutan, tidak ada paksaan untuk tinggal di area kampung naga, atau keluar area, apabila seseorang ingin masuk ke dalam masyarakat adat kampung naga harus tunduk dan patuh pada aturan adat yang ada di masyarakat.
Organisasi kemasyarakatan kampung naga antara lain
1.      Paguyuban karinding
2.      Paguyuban pemandu wisata kampung adat
3.      Pertemuan para pemimpin adat.
F.     Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat kampung naga memiliki pembagian hutan yaitu Leuweng rarangan (hutan larangan) dan leuweng Karamat (hutan keramat).
Leuweng rarangan, adalah hutan yang tidak boleh di jamah oleh masyarakat bahkan di injak pun tidak boleh. Nilai yang bisa di ambil dari hutan larangan ini adalah hutan ini sebagai penyeimbang lingkungan, terutama lingkungan kampung naga yang landai, hutan ini sebagai cadangan oksigen, pencegah longsor, pencegah banjir dan sebagai cadangan air tanah.
Leuweng karamat atau hutan kramat adalah hutan yang di keramatkan, hutan ini di peruntukan untuk pemakaman ada tiga jenis pemakaman yaitu pemakaman khusus untuk para leluhur, pemakaman umum, dan pemakaman khusus untuk bayi. Pemakaman bayi di pisahkan karena ukurannya kecil, takutnya jika di satukan tidak akan terlihat karena ukuranny yang kecil.
Falsafah hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat kampung naga antara lain:
Kanggo tatali ka agama sareung darigama (untuk hal-hak yang berkaitan dengan agama dan nonagama):
1.      Panyaur gancang temonan(panggilan cepat penuhi)
2.      Parentah gancang lakonan(perintah cepat laksanakan)
3.      Pamundut gancang caosan(permnitaan cepat penuhi). Saupami teuaya kauduran agama sareng darigama ( jika tidak ada halangan agama dan nonagama).
Adapun peribahasa yang ada di masyarakat yang menujukan keperibadian masyarakat kampung naga adalah “saur elingkeun, alam jeung zaman kaulaan” maksudnya bahwa semua tuntunan dan pesan dari nenek moyang harus terus di pegang dan di sampaikan, dan zaman juga harus di ikuti, secara singkatnya adalah masyarakat kampung naga harus bertindak local, dan berpikir global.
G.    Adat istiadat Masyarakat Kampung Naga
Upacara adat
1.      Ziarah ke makam leluhur  yang terdiri dari 6 waktu dalam setahun
·         Muharram, untuk menyambut tahun baru islam
·         Robiul awal, untuk memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW.
·         Jumadil akhir, pada pertangahan tahun
·         Syaban, untuk menyambut ramadhan
·         Idul fitri, karena telah melaksanakan puasa ramadhan. 
·         Idul adha.
2.      Upacara pemakaman yang terdiri dari
·         Nyusur tanah  dilakukan sebelum pemakaman
·         Tilu dintenan(tiga hari setelah kematian) masyarkat berkumpul untuk mendoakan almarhum.
·         Tujuhna( tujuh hari setelah kematian) masyarakat berkumpul di rumah duka untuk mendoakan almarhum, dengan membaca alquran 30 juz dalam waktu 7 hari, dan jika berkanan di sertai tahlil
·         40 dintenan( 40 hari setelah kematian) masyarkat berkumpul untuk mendoakan almarhum dengan membaca alquran 30 juz.
3.      Syukuran setelah panen, hasil panen di kumpulkan di suaru tempat dan kemudian di adakan syukuran atas hasila panen yang di peroleh, setelah itu para ibu akan menumbuk padi berbarengan.
Hukum adat
Masyarakat kampung naga memiliki beberapa larangan, yaitu kat Pamali, kata Pamali mengandung amanat, wasiat dan akibat. Adapun larangannya antara lain:
1.      Bangunan Merubah bentuk dan bahan yaitu bentuknya rumah panggung dan bahannya kayu dan ijuk.
2.      Hari yang dilarang, dalam satu minggu ada 3 hari yang di tabukan antara lain selasa, rabu, dan sabtu. Dalam setahun ada dua bulan yang di tabukan yaitu bulan Ramadhan dan safar. Hal-hal yang di larang pada hari dan bulan di atas antara lain: tidak boleh Ziarah ke makam, tidak boleh menceritakan silsilah kampung naga.
3.      Memasuki hutan larangan.
4.      Dalam keseharian bersikap antara lain:
Tidak boleh ngawadon (main permpuan)
Tidak boleh judi
Tidak boleh berbohong
Tidak boleh madat (mabuk-mabukan)
Tidak boleh jalir jangji (ingkar janji)
Tidak boleh nyidra tina subaya ( tidak menepati janji)
Tidak boleh iri, dengki, jail, aniaya
5.      Ketika kita tidur atau duduk berselonjor kaki tidak boleh menghadap ke kiblat, ketika buang air tidak boleh menghadap ke kiblat.
6.      Tidak boleh mendirikan bnngunan di tempat yang dulunya bekas lumbung padi, dan depok.
Pergaulan dan tata karama Masyarakat kampung naga tidak membatasi bergaul dengan siapapun dari agama manapun, dari suku manapun dan bahasa apapun. Adapun beberapa hal yang di pegang teguh masyaraykat kampung naga antara lain hidup gotong royong, hidup sederhana, hidup bersama alam.






3 komentar:

  1. Apa faktor pendorong dan penghambat kampung naga?

    BalasHapus
  2. bagus banget sangat membantu, laporannya lengkap sekali, semangat terus bloggernya!!! terimakasih hehe

    BalasHapus