BAB III
KONDISI
LINGKUNGAN ALAM DAN KEPENDUDUKAN MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
A. Sejarah
Kampung Naga
Mungkin dalam pikiran kita pernah terlintas ketika
mendengar nama Kampung Naga, bahwa di kampung ini terdapat ular naga atau fosil
dan peninggalannya. Ternyata anggapan tersebut sangat berbeda dengan namanya,
dan gambaran kita tentang hal-hal yang berbau naga, karena tak satupun naga
atau segala peninggalannya yang berada di sana.
Kampung
Naga adalah salah satu kampung adat yang masyarakatnya masih memegang teguh
adat tradisi secara turun menurun. Mereka menolak budaya luar jika hal itu
dapat merusak adat tradisi dari nenek moyang mereka. Tetapi, sejarah dan
asal-usul kampung ini tidak memiliki titik temu. Tidak ada dokumen-dokumen atau
arsip sejarah yang menjelaskan secara keseluruhan kapan, siapa, dan apa latar
belakang berdirinya kampung ini. Masyarakat Kampung Naga pun menyebut sejarah
kampungnya sendiri dengan sebutan “Pareum Obor”. “Pareum” apabila diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti
penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, Matinya
penerangan. Maksudnya mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya.
Terdapat beberapa versi yang
menceritakan asal-usul kampung ini yang didapat dari beberapa narasumber, pada
zaman Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang
bernama Singaparana diberi tugas untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah
bagian Barat. Kemudian ia tiba di daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut,
masyarakat Kampung Naga memberi julukan kepada Singaparna, yaitu Sembah Dalem
Singaparana. Suatu hari ia bersemedi, dalam persemediannya ia mendapatkan
petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung
Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran cerita
tersebut, karena adanya "pareum obor" tadi.
Ada
juga yang mengatakan asal-usul dari nama “Kampung Naga” yaitu berasal dari kata
Bahasa Sunda “Gawir” yang artinya tepi sungai. Letak kampung tersebut
berbatasan dengan sungai Ciwulan, oleh karena itu diberi nama Kampung Naga,
maksudnya “Nagawir” atau kampung di tepi sungai.
B. Kondisi
Alam Kampung Naga
Kampung ini secara
administratif terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung ini
berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung
Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung
Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26
kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya
harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda : sengked)
sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak
kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan
sampai kedalam Kampung Naga.
Menurut data dari Desa
Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan dengan
produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang ada
seluas satu hektar setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan,
pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen
satu tahun dua kali.
Menurut
data dari pengamatan sesaat, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa
perbukitan dengan produktivitas tanah yang bisa dikatakan subur. Luas tanah
kampung naga yang ada seluas 1,5 hektar, sebagian besar digunakan untuk
perumahan, pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah
yang dipanen satu tahun dua kali. Alamnya yang masih asri menjadikan kampung
naga menjadi salah satu tempat yang cozy, nice and warm.
Adapun batas wilayahnya :
- Di sebelah Barat adalah
hutan keramat (yang didalamnya terdapat makam
leluhur
masyarakat Kampung Naga).
- Di sebelah Selatan
sawah-sawah penduduk
- Di sebelah Utara dan
Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya
berasal
dari Gn.Cikuray di daerah Garut.
Menurut data dari Desa Neglasari, Struktur tanah pada
area kawasan Kampung Naga berbukit-bukit sehingga perkampungan atau
pemukiman masyarakatnya dibangun diatas tanah yang tidak rapi dan untuk
mencegah kelongsoran dibentuk sengkedan yang terbuat dari bata/batu.
Pemukiman pada masyarakat Kampung Naga berbentuk
mengelompok biasanya bentuk pemukimannya dibatasi oleh pagar dari
bambu yang memisahkan daerah pemukiman dengan daerah yang dianggap kotor. Baik
dari segi bangunan, bahan dan arahnya, pemukiman pada masyarakat Kampung
Naga menunjukkan adanya keseragaman. Bentuk permukaan tanah di Kampung Naga
berupa perbukitan dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur.Luas
tanah Kampung Naga yang ada seluas 1,5 ha,sebagian besar digunakan untuk
perumahan,pekarangan, koam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang
dipanen satu tahun dua kali.
C.
Kondisi Kependudukan Kampung Naga
Berdasarkan
hasil observasi dan sensus penduduk tahun 2004 masyarakat Naga berpenduduk
kurang lebih 326 jiwa, yang terdiri dari 106 kepala keluarga. Populasi kampung
naga ini terus berkurang. Hal tersebut berarti bahwa jumlah penduduk perlahan
makin kecil. Banyak orang muda yang pergi untuk mencari pekerjaan di tempat
lain seperti Tasikmalaya, Bandung, Bogor dan Jakarta. Kuncen atau tetua kampung
berkata, dulu ada 347 orang pada tahun 1979, 10 tahun kemudian ada 329 dan
tahun 1991 hanya 319 orang yang terdiri atas kira-kira 100 keluarga. Penduduk
Kampung Naga menganut agama Islam, yang dikombinasikan dengan kebudayaan
setempat warisan dari nenek moyang dulu. Jumlah keseluruhan penduduk
sekitar 326 orang.
Dalam
system kekerabatan masyarakat kampung naga menganut sistem Bilateral, yang
artinya menarik keturunan dari garis ibu dan ayah. Sedang untuk sistem
pemerintahan sendiri masyarakat kampung naga tetap mengakui adanya sistem
kemasyarakatan Formal dan Non-formal.
Dalam sistem formal meliputi kepala RT
dan Kepala Dusun dan semua unsur yang terkait didalamnya, termasuk sistem
pemerintahan. Dalam sistem Non-formal, masyarakat kampung naga mengenal dan
mengakui adanaya Kuncen (juru kunci) sebagi pemangku adat. Ada juga Punduh yang
berfungsi mengurusi masyarakat dalam kerja sehari-hari. Dirinya bertindak
sebagai pengayom masyarakat apabila ada kegiatan kemasyarakatan. Begitupula
dengan bidang keagaman yang diutus oleh Leube. Dirinya punya wewenag dan
tanggungjawab dalam mengurus masyarakat pada masalah keagamaan dan hal lain
yang terkait dengan agama
Dalam sistem perekonomian kami
fokuskan kepada mata pencaharian dimana mata pencaharian warga Kampung Naga
bermacam-macam mulai dari pokok yaitu bertani, menanam padi sedangkan mata
pencaharian sampingannya adalah membuat kerajinan, beternak dan berdagang.
Bangunan-bangunan yang ada di
Kampung Naga berbentuk segitiga semuanya beratap ijuk, dan menghadap ke arah
kiblat, terdapat kurang lebih 113 bangunan dalam area 1,5 ha yang terdiri dari
110 rumah warga dan 1 tempat ibadah, selain itu juga terdapat balai pertemuan
dan lumbung padi (Leuit) dan Bumi Ageung yang kesemua bahan bangunannya
menggunakan bilik-bilik, kayu-kayu, dan lain-lain. Tidak menggunakan semen atau
pasir. Semua bentuk, ukuran, alat dan bahan bangunan semuanya sama hal ini
menunjukkan adanya keseimbangan dan keselarasan yang ada di daerah tersebut.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung,
bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau
alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus
menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah
Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag.
Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh
menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan,
misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di
dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki
yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu
belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari
memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
D. Sarana
dan Prasarana di Kampung Naga
Hampir
mirip dengan Baduy, kampung Naga kental akan nuansa alami dan tradisonal. Namun
Masyarakat Kampung Naga nampaknya lebih terbiasa dengan para wisatawan,
sehingga mereka cenderung beraktivitas seperti biasa meski ada wisatawan yang
berlalu-lalang di sekitarnya. Kehidupan keseharian mereka menyesuaikan
dengan alam. Memulai aktivitas saat matahari terbit, berhenti beraktivitas saat
hari mulai gelap. perabotan rumah tangga semacam kursi dan meja sangat minim
digunakan. Mereka hidup tanpa listrik, tanpa
ponsel apalagi TV Meski demikian bukan berarti mereka anti 100 persen terhadap
teknologi,
Lihat gambar diatas misalnya masih bisa bebas
menelpon ditengah-tengah perkampungan untuk berkomunikasi dengan calon
tamu-nya. Sebuah indikasi bahwa proses perubahan sosial yang berlangsung di
komunitas masyarakat Kampung Naga. Mereka mulai menerima teknologi baru yang
memiliki manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan SMS,
misalnya, warga semakin mudah menjual hasil produk pertanian mereka,hasil bumi,
kerajinan tangan, maupun wisatawan seperti yang dilakukan orang di gambar.
Layanan seluler yang disediakan di kawasan ini, pada
dasarnya adalah layanan publik untuk mendukung pengembangan Kampung Naga
sebagai desa adat dan desa wisata. Oleh karena itu layanan seluler berfungsi
sebagai sarana pendukung yang disiapkan untuk mendukung komunikasi para
pengunjung ke Kampung Naga.
Namun ketradisonalan lebih menjadi daya tarik
tersendiri bagi kampong naga.
Sarana
masak memasak yang amat unik dan tradisonal
Alat
menumpuk padi
Kolam
sarana budi daya ikan
Balai pertemuan
Kamar
mandi dari bamboo
Tempat
buang air besar/kecil
Rumah
ternak domba
Goah
tempa menyimpan lumbung padi
A. Bentuk
Rumah dan Fungsinya di Kampung Naga
Kampung Naga, salah satu permukiman tradisional
rakyat Parahyangan. Berarsitektur adaptif, menyelarasi lingkungannya. Terletak
di lembah subur, di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dusun ini dibatasi
hutan, sawah, dan aliran sungai Ciwulan. Di capai setelah menuruni 300 anak
tangga yang berkelok menuju lembah.
Gambar
Anak tangga
Rumah dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105
buah, tertata rapi dalam pola mengelompok dan tanah lapang di tengah. Tanah
lapang merupakan pusat aktivitas sosial dan ritual masyarakat, sekaligus tempat
orientasi. Di sekitarnya ada masjid, balai pertemuan dan beberapa rumah
penduduk. Di tempat yang lebih tinggi, sebelah barat kampung, terdapat Bumi
Ageung dan rumah kuncen ( kepala adat ). Semua
bangunan diletakkan memanjang ke arah barat timur, sehingga kampung seakan
terlihat menghadap ke sungai Ciwulan yang berfungsi sebagai area servis
penduduk. Dekat sungai, dalam kampung, terdapat kolam2 ( balong ) dan
beberapa pancuran air.
Rumah yang saling berhadapan. Tidak ada
pintu depan dan belakang.
Hunian
masyarakat Naga berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 40-60 cm dari
tanah. Selain untuk pengatur suhu dan kelembaban, kolong difungsikan sebagai
tempat penyimpanan alat pertanian, kayu bakar serta kandang ternak. Rumah-rumah
persegi panjang ini ditata secara teratur di atas tanah berkontur berbentuk
teras-teras yang diperkuat dengan sengked/ turap batu. Bentuk rumah
panggung terkait kepercayaan warga Naga bahwa dunia terbagi menjadi dunia
bawah, tengah dan atas. Dunia tengah melambangkan pusat alam semesta dengan
manusia sebagai pusatnya. Tempat tinggal manusia di tengah, dengan tiang
sebagai penopang yang tak boleh menyentuh tanah, sehingga diletakkan di
atas tatapakan/ umpak batu.
Ukuran
rumah tergantung besar kecilnya keluarga dan kemampuan penghuni. Jika perlu
tambahan ruang, dibuatlah sosompang di bagian kiri atau kanan
rumah. Memberi warna pada rumah adalah tabu, kecuali dikapur atau dimeni. Pintu
harus menghadap utara atau selatan, semua pada satu sisi rumah, sesuai
ketentuan adat.
Masjid di Kampung Naga. Di atas umpak batu,
dari bahan kayu, bentuk simetris, tahan gempa. Kearifan leluhur. Inspiring,
isn't it ?
Jenis konstruksi dan atap yang digunakan sangat
genial dalam memecahkan masalah iklim setempat. Struktur tiang dan umpak
membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur tanah. Umpak juga mencegah
tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan serangan serangga tanah.
Ventilasi diatur agar rumah tetap kering dan sejuk,
mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk atap pelana rumah adat Kampung Naga
disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak (
bila sisi rumah ditambah sosompang ) dan terbuat dari ijuk.
Selain kedap air, atap juga menjaga kehangatan rumah saat malam, karena teritis
antar rumah yang nyaris bersentuhan itu membentuk lorong yang mengurangi
masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia tak boleh menentang kodrat
alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah edar matahari,
diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk
menghindari mala petaka.
Dinding anyaman bambu, menyekat muka tengah belakang
rumah. Dinding rumah terbuat dari bambu yang
dianyam ( bilik ). Jenis anyaman sasag paling banyak digunakan karena kuat dan
tahan lama. Anyaman bercelah tsb, terutama dipakai untuk dinding dan pintu
dapur, sesuai ketentuan adat. Untuk keperluan bahan baku bilik, penduduk yang
hampir seluruhnya perajin bambu, menanam bambu di sekitar kampung dan hutan.
Pada dasarnya rumah di Kampung Naga terdiri 3 bagian
; muka ( hareup ), tengah ( tengah imah ) dan belakang.
Bagian depan berupa teras/ emper, tempat menerima tamu yang dicapai dengan
menaiki gelodog ( tangga ). Bagian tengah adalah ruangan besar tempat
keluarga serta tamu berkumpul ketika acara selamatan. Di
sebelahnya, pangkeng/ enggon ( kamar tidur ), yang kadang hanya
berupa area kosong, tanpa penyekat atau pintu, di sudut ruang tengah. Dapur
dan padaringan/ goah ( tempat penyimpanan beras ) terletak di bagian
belakang, tempat yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan kaum perempuan.
Arsitektur tradisional Kampung Naga, walau dibuat
dengan pengetahuan teknis sederhana yang banyak terkait dengan kepercayaan,
ternyata secara logis, efektif mencapai keselarasan dengan lingkungan yang
telah lama dipelihara dan dilestarikannya.
Rumah
dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105 buah, tertata rapi dalam pola
mengelompok dan tanah lapang di tengah.
Bangunan-bangunan yang dianggap bersih
1. Bumi Ageung
Bumi Ageung (rumah besar), mempunyai ukuran yang lebih
keci ldibandingkan dengan perumahan warga, akan tetapi memiliki fungsi dan arti
yangsangat besar. Bangunan ini memiliki sifat sakral, karena dijadikan
tempat penyimpanan benda-benda pusaka dan dijadikan tempat tinggal tokoh
yang palingtua usianya diantara warga Kampung Naga lainnya, yang dianggap
keturunan paling dekat leluhur mereka. Rumah sakral ini terletak pada
teras kedua dari bawah. Bangunan ini sangat sunyi dan berpagar tinggi
terbuat dari bambu dandirangkap dengan pagar hidup dari hanjuang.
2. Masjid dan Bale patemon
Masjid dan bale petemon Kampung Naga terletak di daerah
terbuka (openspace). Rincinya kedua bangunan tersebut berada di depan lapangan
milik wargamasyarakat Kampung Naga. Masjid dan bale patemon merupakan dua
bangunanyang terletak di kawasan bersih yaitu di sekitar rumah
masyarakat.Masjid di Kampung Naga tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat
ibadah atau tempat menuntut ilmu agama. Lebih dari itu, fungsi Masjid
Kampung Naga juga sebagai tempat awal dan akhir dari pelaksanaan ritual
Hajat Sasih. Jadi, selain sebagai fungsi tempat ibadah, masjid juga
memiliki fungsi lain yaitu tempat pelaksanaan ritual adat. Sementara bale
patemon mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah milik masyarakat
Kampung Naga.
3. Leuit / lumbung padi
Leuit (lumbung), merupakan bangunan yang terletak di
sekitar perumahan milik warga Kampung Naga. Leuit berfungsi untuk
menyimpan padi hasil panenyang disumbangkan warga. Padi-padi tersebut biasa
digunakan manakala ada kegiatan-kegiatan baik itu acara ritual maupun yang
lainnya misalkan pemugaran Masjid, bale patemon dan sebagainya.Bangunan
leuit ditempatkan di sektor perumahan jadi masuk ke dalam kawasan bersih
milik masyarakat Kampung Naga. Sebelum padi dimasukkan ke dalam leuit padi
dijemur terlebih dahulu sampai kering dan siap untuk ditumbuh.
4. Rumah warga
Rumah yang berada dikampung naga jumlahnya
tidak boleh lebih ataupun kurang dari 110 bangunan secara turun temurun, dan
sisanya adalah masjid, leuit (lumbung padi) dan patemon (balai pertemuan). Apabila
terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah
tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam
yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, jumlah
bangunan rumah tidak boleh lebih dari 112 . dengan luas rumah rata-rata 7x8
meter, dengan menghadap arah Utara dan Selatan
Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah,
karena semua bangunan penduduk menggunakan
bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi
kebakaran.
Pemangku adat pun memandang masyarakat Kampung Naga
tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.
Tepas imah sekaligus berfungsi sebagai filter
yang menyaring berbagai kemungkinan pengaruh buruk yang akan masuk kedalam
rumah. Oleh karena itu, tepas imah juga dilengkapi dengan penolak bala
yang terbuat dari ketupat yang diisi beras dan di doa oleh bapak lebe pada
saat bulan Muharam diganti setahunsekali.Ini dipercaya oleh masyarakat Kampung
Naga sebagai penolak bala yang menjaga seluruh penghuni rumah. Setahun sekali, setiap
bulan Muharram. Letak pintu depan tempat menggantung penolak bala tersebut
tidak boleh sejajar dengan pintu belakan atau pintu dapur. Rumah dengan
posisi pintu yangseperti itu dipercaya masyarakat tidak akan membawa keberuntungan.
Selain itu,mereka juga mempercayai bahwa posisi pintu tempat menggantung
tangtangangin yang sejajar dengan pintu belakang akan membawa kesulitan ekonomi
bagi pemiliknya, karena rezeki yang datang dari pintu depan akan langsung
keluar melalui pintu belakang tanpa sempat mampir di dalam rumah tersebut.
5.
Tengah Imah
Tengah
imah merupakan bagian tengah dari rumah masyarakat Kampung Naga. Sebagai
ruang tengah, tengah imah berfungsi sebagai ruang tempat keluarga
berkumpul. Bagi mereka yang memiliki anak, ruang
tersebut berfungsisekaligus sebagai ruang belajar bagi mereka. Namun
karena rumah masyarakat Kampung Naga rata-rata berukuran 6x8meter, pada malam
hari tengah imah sering dijadikan tempat tidur untuk anak-anak, atau sanak
keluarga yang menginap. Walau demikian, antara
tengah imah dengan tepas imah tidak memiliki pembatas. Sehingga jika
dirasa masih kekurangan tempat, tepas imah biasa juga dijadikan tempat
untuk tidur.
6.
Pangkeng
Pangkeng
artinya ruangan tempat tidur. Untuk mereka yang memiliki rumah
lebih besar, biasanya memiliki dua pangkeng. Tetapi karena rata-rata
luas bangunannya terbatas, kebanyakan rumah di Kampung Naga hanya memiliki
satu pangkeng.
7.
Dapur dan Goah
Dapur dan goah merupakan kebalikan dari tepas imah karena
wilayah inimerupakan wilayah kekuasaan kaum wanita. Di ruang inilah sebagian
besar kaumwanita masyarakat Kampung Naga menghabiskan waktunya.
Dapur berfungsi sebagai tempat memasak dan
menyediakan hidangan. Sedangkan goah merupakan tempat penyimpanan beras
atau gabah, dan bahan kebutuhan pokok lainnya.
Untuk meringankan pekerjaan, letak dapur dan goah sengaja
dibuat secara berdekatan.
8. Kolong Imah
Kolong imah berada di antara permukaan tanah dengan bagian
bawah lantai rumah. Tingginya kurang lebih 60 sentimeter. Kolong imah biasanya dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat
pertanian, atau bisa juga dipakaisebagai tempat memelihara ternak
seperti ayam, itik dan sebagainya
Bangunan yang dianggap kotor
Yang dimaksud kawasan kotor adalah kawasan yang
peruntukkannya sebagai kawasan kelengkapan hidup lainnya yang tidak perlu
dibersihkan setiap saat. Kawasan ini permukaan tanahnya lebih rendah dari
kawasan pemukiman, terletak bersebelahan dengan Sungai Ciwulan. Di dalam
kawasan ini antara lain terdapat pancuran dan sarana MCK, kandang ternak, saung
lisung, dan kolam.
a.
Saung lisung/
tempat menumbuk padi
Saung lisung, merupakan tempat masyarakat Kampung Naga
menumbuk padi. Bangunan ini dibuat terpisah dari perumahan, yaitu
dipinggir (atau diatas) balong (kolam ikan). Hal ini bertujuan agar limbah
yang dihasilkan dari saunglisung yaitu berupa huut (dedak) dan beunyeur
(potongan-potongan kecil dari beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi
makanan ikan. Dengan demikian, praktis limbah yang dihasilkan tidak
mengotori sektor bersih (perumahan) milik warga. Demikian juga dengan
kandang ternak. Kandang tersebut ditempatkan diatas balong yang langsung
bersisian dengan sungai Ciwulan. Limbah yangdihasilkan kandang tersebut
ditampung ke balong, atau langsung dialirkan kesawah-sawah milik warga.
b.
Pancuran,
pacilingan atau tampian
Pancuran,
pacilingan atau tampian (jamban) merupakan suatu bangunan yang ukurannya
bervariasi antara satu sampai empat meter bujur sangkar. Dinding bangunan
tersebut terbuat dari bilahan-bilahan pohon enau atau bambugelondongan yang
dirakitkan. Pancuran ini kadang diberi atap (ijuk dan daun tepus), atau
dibiarkan terbuka. Airnya dialirkan melalui pipa-pipa yang terbuat dari
bambu gelondongan. Ketinggian jatuhnya air ke lantai jamban sekitar 60-100cm. Aliran
air yang demikianlah yang dikenal masyarakat Sunda dengan sebutan pancuran.
Air pancuran langsung disadap dari selokan air atau lebih
langsung lagi dari seke atau sumur (mata air). Pancuran ditempatkan diatas
balong-balong dengan ketinggian dari permukaan air balong sekitar 0,25
sampai 0,50 meter. Dengan demikian, semua kotoran langsung jatuh ke dalam
balong sebagai makanan ikan dan penyubur lumpur balong.
Lumpur balong yang subur ini sekali atau dua kali dalam
setahun dialirkan masyarakat ke sawah. Jelasnya balong tersebut memiliki fungsi
yang banyak diantaranya adalah:
1.
sebagai tempat
pemeliharaan ikan
2.
digunakan
sebagai tempat MCK
3.
sebagai tempat penghancur
kotoran
4.
sebagai
penyimpanan pupuk untuk menambah kesuburan sawah-sawah di sekitarnya.
BAB
IV
KAJIAN
MASYARAKAT KAMPUNG NAGA
A.
Asal Mula dan Sejarah Masyarakat Kampung
Naga
Jika
kita berkunjung ke Kampung Naga maka jangan salah apabila anda tidak menemukan
seeokor Naga atau apapun yang berhubungan dengan Naga. Kampung Naga merupakan
sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang adat
tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal
itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal mula
kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan sejarah,
kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung
dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah
kampungnya dengan istilah "Pareum Obor".
Pareum
jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu
sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat
yaitu, Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu
sendiri. Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga
menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka
pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada
saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia.
Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung
Soekarno dan kurang simpatik dengan niat Organisasi tersebut. Oleh karena itu,
DI/TII yang tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga membumihanguskan
perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun
beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya,
Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi bermula pada masa kewalian Syeh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan koordinat Latitude -7.363722 dan
Longitude 107.994425 , seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk
menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah
Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya.
Di
tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem
Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi.
Dalam
persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu
tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang
paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa
Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut
lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga.
Makam
ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu
diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Namun kapan
Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak
seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang
mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak
meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah
masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda
atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Ada sejumlah nama para
leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati seperti: Pangeran Kudratullah,
dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai
pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti,
dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya yang mengusai ilmu kekebalan
"kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara
Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu
kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di
Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau
kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu
pengetahuan mengenai bidang pertanian.
B.
Sistem Religi Masyarakat Kampung Naga
Agama yang di anut oleh masyarakat kampong Naga
adalah islam, akan tetapi
sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang
adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka
menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda
dengan pemeluk agama Islam lainnya.
Karena di kampong naga tidak menggunakan listrik,
maka cara untuk menggunakan alat pengeras suara ketika akan datang waktu nya
beribadah maka mereka menggunakan bedug yang mana bedug tersebut menggeluarkan
suara dan adapun azannya tetap di kumandangkan seperti biasanya yang berbeda
itu tidak menggunakan pengeras suara.
Dalam menjalan kan ibadah shalat masyarakat kampung
naga itu sama seperti yang di cantumkan dalam kitab Al-Quran yang mana
melakukan shalat wajib lima waktu dalam sehari, menjalankan ibadah shalat
jum’at yang pengerjaannya di lakukan satu minggu sekali oleh laki-laki yang ada
di kampong naga, adanya nya shalat idhul fitri dan idhul adha yang di lakukan
satu tahun dua kali dalam pengerjaanya. Itu semua mengikuti ajaran yang di
lakukan oleh nabi Muhammad dan tercantum dalam Quran dan Hadis semua ibadah
tersebut dan merupakan ajaran yang di lakukan oleh para leluhurnya.
Dan dalam pelaksanaanya pun pakaian yang di pakai
oleh masyarakat kampung naga ketika akan melaksanakan ibadah shalat tidak di
haruskan memakai pakaian yang baru dan bagus juga khusus yang wajibkan adalah
menggunakan pakaian yang bersih dan tidak kotor ketika akan melaksanakan Ibadan
shalat.
Dalam system religi
mereka punya kebiasaan ataupun memiliki suatu adat kepercayaan dimana
ada beberapa hari yang di tabu kan, seperti hari selasa, rabu dan sabtu. Dimana
pada hari-hari tersebut masyarakat kampong naga tidak di perbolehkan untuk
membicarakan apapun yang berkaitan dengan kampong naga, Karena dalam hari-hari
tersebut itu merupakan hari tabu atau hari larangan yang di percayai
masyarakatnya dimana tidak di perbolehkan membicarakan apapun yang berkaitan
dengan kampong naga, baik itu asal usulnya ataupun lainnya. Namun apabila
kegiatan lainnya seperti membuat rumah dan melakukan acara pernikahan itu di
perbolehkan.
Satu tahun ada dua bulan yaitu puasa dan sapar,
hal-hal yang tidak di perbolehkan dalam bulan tersebut adalah hanya dua
kegiatan yang pertama tidak boleh
melaksanakan jiarah ke makam dan yang kedua tidak boleh menceritakan silsilah
atau sejarah kampong naga atau apapun yang berkaitan dengan kampong naga.
Adapun larangan dan tatakrama yang berlaku dan mesti
di patuhi oleh masyarakat Kampung Naga, karena menganut kata
Pamali = amanat ,wasiat, akibat. Yaitu :
Bilamana beristirahat ataupun tidur di kampong naga,
kaki tidak di perbolehkan melonjor mengarah ke kiblat. Begitupun untuk buang
air kecil tidak diperboleh kan untuk mengarah kearah kiblat.
Dalam bertingkah laku masyarakat nya tidak boleh ngawadon (main perempuan), ngadu
(judi), ngamadat (mabok-mabokan), ngawadul (berbohong), jalir tina jangji
(ingkar janji), hidra tina subaya, iri dengki, jail jeung aniaiya.
Kuncinya adalah
yang dilarang oleh agama dan tau mana yang baik dan mana yang buruk yang
mesti di kerjakan dan yang mesti di
jauhkan
Dan yang harus di lakukan atau sifat yang mesti ada
pada setiap diri masyarakatnya adalah : kudu nyaahan, deudeuhan, welasan,
asihan, nulung kanu butuh, nganteur kanu sieun,ngahudang keun kanu labuh,
nalang kanu susah , nyaangan kanu poekeun, jeung ngahudang keun kanu titeuleum.
di masyarakat kampong naga itu bergaul dengan siapapun boleh, penuntut ilmu itu
harus asal tidak terlepas dari agama
islam yang di anutnya.
Pemakaman terbagi dua bagian, yang pertama ada
pemakaman khusus dan ada pemakaman umum. Ada yang di namakan nyusur tanah bila
ada salah satu masyarakat kampong naga yang meninggal dan di kuburkan di
pemakaman umum, lalu ada dimana 3 harian setelah proses pemakaman, ada 7 na
dimana di acara 7 harianna ini masyarakat membaca Al-Quaran bersama, dan 40
harianna dalam prosesnya itu sama seperti pada 7 harianna yaitu membaca
Al-Quran satamatan.
Kepercayaan yang di anut oleh masyarakat kampong
naga seperti adanya hutan larangan sebelah timur sungai ciwulan dimana tidak
diperbolehkan untuk menginjak di hutan tersebut dan mengambil suatu barang hal
apapun yang berasal dari hutan larangan tersebut. dan hutan keramat yang letaknya di barat dan
selatan. yang dimana memiliki filosofi untuk menjaga alam dan memeliharanya.
Karena hidup di dunia ini satu sama lainnya beriringan dan saling bergantungan
antara manusia dan alam maka perlu adanya rasa saling mejaga. untuk hutan
keramat tidak sembarangan orang yang bisa masuk ke dalam hutan tersebut (hanya
juru kunci/kuncen) dan fungsi dari adanya hutan keramat tersebut adalah untuk
menyimpan beda-beda yang di anggap keramat bagi masyarakat kampong naga dan
kegiatan berjiaran kemakam yang di lakukan satu tahun enak kali yang hanya bisa
di lakukan oleh juru kuncen. Dan adapun rumah yang di batasi oleh pagar di
depannya itu pun tidak di perkenankan untuk masuk tetapi bila ingin mengembil
gambar rumah tersebut di perbolehkan asal pengambilan gambar harus berada pada
jarak kira-kira 10 – 15 meter yang dinamakan bumi ageung.
C.
Sistem Pengetahuan Masyarakat Kampung
Naga
Sistem pertanian pada masyarakat kampung naga yaitu
setiap 6 bulan sekali memberikan hasil
panen ke lumbung padi umum dan menyimpannya, lumbung padi umum itu berisikan
dari hasil-hasil panen dari setiap warga masyarakat kampung naga untuk
acara-acara ritual , acara ritualnya itu seperti acara memperingati tahun baru
islam (bulan muharam), menyambut lahirnya nabi Muhammad SAW (rabiul awal) dan
rabiul akhir.
Dalam 1 tahun bisa di lakukan 2 x panen, untuk awal penanaman di katakan
JANLI (singkatan dari Januari dan juli).
Hasilnya di utamanan untuk persediaan selama 6 bulan, bilama ada lebihnya maka
akan di jual untuk membeli pupuk atau mengolah tanah lagi karena masyarakat
kampung naga menggunakan dua jenis pupuk yaitu pupuk organik dan kimia.
Masyarakat kampung naga pun pandai mengolah batang bamboo , dan tempurung, yang
di olah menjadi suatu bentuk kerajinan tangan khas mayarakat kampong naga dan
itu pun dapat menjadikan suatu mata pencaharian oleh masyarakat kampung naga.
Obat –obatan tradisional masyarakat kampung naga
masih menggunakan dan di ambil dari daun-daunan yang tumbuh di sekitar
lingkungan kampung naga atau yang di sebut dengan obat-obatan tradisional, bila
ada masyarakatnya yang panas dalam dapat menggunakan daun dadap yang masih
muda, dimana cara penyajiannya itu air dan daun dadap di satukan lalu peras
daunnya, setelah di peras dari daun tersebut yang di minumkan pada penderita
panas dalam tersebut.
Selanjutnya, bila Sakit gigi ataupun mengobati gigi
yang berlubang menggunakan pucuk bamboo muda dan garam, kemudian di teteskan
pada bagian yang sakit. Adapun menggunakan tanaman jawer kotok yang di seduh
mengggunakan air dan di campur garam. Bila warna dari air yang di campur tanaman
jawer kotok dan garam itu berrubah maka langkah selanjutnya adalah
berkumur-kumur lah menggunakan air tersebut yang fungsinya untuk mengeluarkan
ulat kecil yang bersarang di gigi yang berlubang.
Apabila ada seorang yang sakit maka langkah pertaman
adalah memberikan obat-obatan tradisional yang berbahan dasar dari alam
tersebut. Namun, apabila sakitnya tidak kunjung sembuh maka yang di perlukan adalah adanya penanganan dari dokter
atau puskesmas yang ada di daerah kampung naga.
Apabila ada wanita yang akan melahirkan di kampung
naga maka penaganan dari dukun beranak dan dibantu dengan bidan lah yang akan
di lakukan.
Sistem
KB pada masyarakat kampong naga sudah ada sebelum pemerintah melakukan program KB yang ada
seperti sekarang, namun program KB yang di lakukan oleh wanita masyarakat
kampung naga adalah KB yang masih tradisional yang di bantu oleh indung beurang
(paraji) dan bidan.
D.
Sistem Teknologi Masyarakat Kampung Naga
Teknologi masyarakat kampong naga masih sangat
sederhana masih menggunakan peralatan tradisional dalam kesehariannya seperti
pacul, padi nya masih di tumbuk memakai lesung.
Untuk
bagunan tidak boleh merubah bentuk dan bahan, untuk bahan ada 7 jenis dan
bahan-bahan yang di gunakanpun masih bahan-bahan yang berasal dari alam dan peralatannya
masih tradisional, berikut ada 7 jenis bahan pembuatan rumah yaitu berupa :
§ Kayu
bamboo
§ tepus
(untuk atap)
§ aren
(lapisan yang di gunakan untuk lapisan kedua pada atap)
§ paku
§ kapur
§ podasi
untuk rumah yang menggunakan batu
Alasan mengapa kampong naga tidak menggunakan
teknologi listrik dalam melakukan aktifitas dalam kesehariannya karena ada
beberapa hal yang di takut kan oleh
masyarakat kampung naga :
§ pertama,
terlihat adanya suatu kesenjangan sosial atara yang kaya dan yang miskin yang
termasuk dalam system kesederhanaan
§ kedua,
takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti adanya bencana kebakaran
namun,
untuk alat penerangan dimalam hari masyarakat kampong naga biasanya menggunakan
alat yang di sebut cempor untuk penerangan atau taplomak yang menggunakan bahan
bakar minyak tanah.
sebenarnya
listrik pada tahun 1976 itu sudah bisa masuk di wilayah kampung naga dan
merupakan pemberian dari belanda juga
akan memberi turbin, itu semua tidak dipungut biaya hanya menerima tak usah bayar. waktu itu
sesepuh yang ada di kampung naga
berdiskusi dan menyimpulkan bahwa kampong naga belum bisa menerima
teknologi tersebut karena para sesepuh dari kampung naga memiliki alasan bahwa
bagunan yang ada di kapung naga ini mudah terbakar bila mana adanya koslet yang
di timbulkan dari listrik tersebut.
E.
Kelompok Sosial dalam Masyarakat Kampung
Naga
Kelompok sosial yang terjadi dalam masyarakat
kampung naga tidak begitu terlihat, karena bisa dibilang pengelompokan tidak
terjadi dalam masyarakat ini. Pengelompokan hanya terjadi karena faktor
kekuasaan atau pemerintahan seperti jabatan Kadus (kepala dusun) dan Kuncen
(juru kunci). Mereka menjalankan kekuasaan dan bermufakat dengan sesama para
pejabat dikampung naga tersebut, dan pengelompokan dalam mata pencaharian
ketika sedang bekerja, seperti para pengrajin akan berkumpul bersama-sama dalam
membuat kerajinan dirumah salah satu warga yang dikiranya nyaman untuk
bersantai sembari membuat kerajianan tersebut, atau para petani yang berkumpul
di sawah ketika bekerja, tetapi dalam kehidupan seseharinya mereka berbaur
kembali dengan masyarakat seperti biasanya, tidak ada kelompok-kelompok yang
pada akhirnya menghasilkan kelompok mayoritas, minoritas atau bahkan
menimbulkan kelompok dominan dalam masyarakat kampung Naga.
Kehidupan hubungan masyarakat
kampung Naga begitu kuat tali silaturahminya, karena mereka memegang tinggi
nilai-nilai kegamaan yang pada dasarnya membuat mereka berbudi baik dan memilki
sikap saling menghargai dan toleransi yang begitu tinggi, sehingga jarang
terjadi perselisihan dalam kehidupan. Sehingga sangat sulit dalam masyarakat
kampung naga terjadi pengelompokan sosial.
Dalam
penilaian masyarakat kampung naga, kelompok sosial hanya akan menimbulkan
pertentangan-pertentangan yang tidak terduga dari setiap individu masyarakat.
F.
Stratifikasi Sosial Masyarakat Adat
Kampung Naga
Stratifikasi dalam masyarakat kampung Naga
terstratifikasi hanya berdasarkan derajat kepemimpinannya dalam msyarakat adat
kampung Naga saja, tidak terjadi dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat
kampung Naga.
KUNCEN
merupakan ketua adat di kampung naga, yang Bertugas
sebagai pemangku Adat dan bertanggung jawab atas keberlangsungan dan terjaganya
kelestarian adat. Saat ini di kampung naga, kuncen masih dipegang oleh Bapak
Ade Suherwin dan wakilnya Bapak Henhen.
LEBE
Bertugas dalam proses keagamaan terutama mengenai pengurusan jenazah, saat ini
Lebe di jabat oleh Bapak Ateng.
PUNDUH
Bertugas dalam ngurus laku meres gawe, yaitu mengayomi masyarakat dalam kerukunan kehidupan bermasyarakat,
yang saat ini dijabat oleh Bapak Ma’un.
Umumnya stratifikasi sosial terjadi
dalam bidang ekonomi, tapi hal tersebut
tidak terjadi dalam masyarakat kampung Naga, mereka tidak memilki sifat
untuk saling bersaing dalam kemajuan ekonomi keluarga, jikalau pun ada tidak
begitu terlihat karena tingginya sifat saling menghargai. Mereka akan malu atau
hormat kepada orang yang tidak mampu, sehingga tidak ada niat dalam benak
masyarakat kampung naga untuk menonjolkan diri dalam bidang-bidang tertentu.
Karena dalam tradisi masyarakat kampung Naga memberlakukan bahwa atribut yang
sekiranya berdampak pada adat kampung Naga harus ditinggal diluar daerah
Kampung Naga.
Jika terjadi Perubahan sosial dalam
bidang ekonomi atau dalam bidang pendidikan, umumnya masyarakat lebih memilih
untuk mengembangkannya diluar daerah kampung Naga, selain alasan karena daerah
kampung naga yang daerahnya sulit untuk mengembangkan potensi usaha, karena
secara turun temurun mereka meyakini untuk tetap menjaga alam sehingga hutan
yang ada disekeliling kampung Naga tidak ada campur tangan manusia yang hanya
merusak alam saja, ataupun keterbatasan tempat untuk membangun fasilitas
sekolah.
Masyarakat Kampung Naga banyaknya
sesepuh yang sangat mejunjung tinggi nilai adat daerah tersebut, sehingga
pikiran modern atau sifat terbuka terhadap sifat-sifat dan budaya luar hanya
dimilki oleh anak-anak yang sekolah dan mulai mengenal dunia luar yang sudah
sedikit jauh dari kearifan lokal Indonesia sendiri, yang membuat para pewaris
mengembangkan diri dan potensinya diluar daerah kampung naga, tetapi harus ada
salah satu dari keturunan yang wajib menempati dan meneruskan tempat leluhurnya
ketika leluhurnya sudah meninggal.
A.
Mobilitas social Masyarakat Kampung Naga
Mobilitas sosial juga terjadi dalam masyarakat
adat Kampung Naga, karena masyarakat sudah menerima perubahan sosial yang
terjadi namun tidak meninggalkan budaya asli yang mereka miliki. Akulturasi
yang terjadi dimasyarakat kampung adat ini.
Masyarakat kampung Naga akan berpindah
kedaerah luar jika ingin mengembangkan diri seperti halnya masyarakat luar.
Namun harus tetap ada orang yang meneruskan atau menmpatkan kediaman yang ada
di kampung Naga.
Pada zaman dahulu, masyarakat kampung Naga
belum mengenal pendidikan, Tingkat Pendidikan masyarakat Kampung Naga mayoritas
hanya mencapai jenjang pendidikan sekolah dasar, tapi ada pula yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi itupun hanya minoritas. Kebanyakan pola
pikirnya masih pendek sehingga mereka pikir bahwa buat apa sekolah
tinggi-tinggi kalau akhirnya pulang kampung juga. Dari anggapan tersebut orang
tua menganggap lebih baik belajar dari pengalaman dan dari alam atau
kumpulan-kumpulan yang biasa dilakukan di mesjid atau aula. namun pada saat ini sudah banyak dari
keturunan mereka yang mengalami perubahan dan pergerakan sosial, ada yang sudah
menjadi guru, pengusaha dan lain-lain karena sudah menempuh pendidikan yang
mereka jalani.
Jadi untuk mobilitas sosial masyarakat
kampung naga tidak sepesat yang terjadi diluar atau dikota, setinggi-tinggi nya
jabatan pekerjaan yang mereka peroleh diluar daerah, suatu saat nanti di hari
tua mereka akan tetap menjadi orang kampung adat didaerah kampung Naga juga,
untuk meneruskan lelulurnya.
B.
Kesenian Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat
Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis
kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut dan kesenian yang
lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan
warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terebang, angklung, beluk, dan
rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian
rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun
bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, dangdut, dan sebagainya diperbolehkan kesenian
tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga. Kesenian di Kampung Naga diantaranya
:
1.
Terbang atau terbang gembrung
Terbang atau terbang gembrung hampir sama dengan
rebana yang biasa dimainkan dalam kasidahan. Alat musik tradisional tersebut
terbuat dari dua bahan dasar. Bingkainya yang merupakan tabung suara, terbuat
dari bahan kayu yang dibuat sedemikian rupa dengan bentuk pipih dan bundar.
Bagian tengahnya dibiarkan kosong. Pada salah satu sisi yang dijadikan muka
terbang kemudian ditutup dengan kulit domba. Sekeliling pinggir terbang
kemudian dipasang tali melingkar sehingga menyerup gelang. Tali tersebut
berfungsi menjadi pengikat sisi-sisi kulit domba.
Untuk memperoleh suara yang diinginkan, di sekeliling
tali pengikat tersebut dipasang “pen” yang berfungsi sebagai penahan dan
sekaligus pengatur nada suara. Jika akan dimainkan, bagian pada permukaan
terbang itulah yang ditepak-tepak oleh telapak tangan para pemain. (Her
Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal. 101-102).
Terbang dalam kesenian masyarakat Kampung Naga terdiri
dari empat buah. Terbang pertama disebut tingting, ukurannya lebih kecil
dibandingkan dengan terbang kedua yang disebut kemprong. Sedangkan kemprong
ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan terbang ketiga yang disebut bangpak.
Terbang keempat merupakan terbang yang paling besar dan disebut brumbung.
Terbang gembrung biasanya dimainkan oleh kaum
laki-laki. Para pemainnya duduk berjajar berurutan berdasarkan ukuran terbang
yang akan dimainkan. Penyajian kesenian tersebut biasanya dimainkan bersama
nyanyian yang disesuaikan dengan irama yang dibawakan. Pada umumnya, lagu-lagu
yang dibawakan menggunakan Bahasa Arab yang intinya berupa puji-pujian untuk
mengagungkan kebesaran Tuhan dan salam serta shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Masuknya terbang gembrung sebagai kesenian masyarakat
Kampung Naga diduga kuat berkaitan erat dengan penyebaran Islam di Nusantara.
Karena itu, kesenian tersebut biasanya digelar pada saat menyambut hari suci,
misalnya hari raya Iedul fitri atau hari raya Iedul Adha. (Her Suganda, Kampung
Naga Mempertahankan Tradisi, hal 102)
2.
Angklung
Jenis
kesenian masyarakat Kampung Naga lainnya adalah angklung. Seperangkat angklung
yang dimiliki masyarakat Kampung Naga terdiri dari empat buah dengan ukuran
yang berbeda. Bentuknya hampir sama dengan umumnya instrumen angklung di daerah
lainnya. Cara memainkannya dilakukan dengan menggoyang-goyang instrumen musik
bambu tersebut.
Dalam
fungsinya sebagai alat hiburan, kesenian angklung digunakan oleh masyarakat
Kampung Naga untuk mengiringi jempana yang memuat hasil pertanian mereka,
misalnya saat peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Jempana adalah tempat menyimpan hasil pertanian atau kerajinan yang terbuat
dari potongan bambu dengan bentuk menyerupai trapesium. Untuk memudahkan
mengangkutnya, pada bagian bawah jempana dipasang bambu yang berfungsi sebagai
pikulan.
Selain untuk
mengarak jempana angklung juga digunakan untuk mengiringi rombongan peserta
upacara gusaran dalam pelaksanaan acara khitanan anak-anak masyarakat Kampung
Naga dan Sanaga. Namun karena kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai fungsi
religius, kesenian angklung digunakan pula sebagai tradisi untuk menghormati
Dewi Sri Pohaci. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal
103-104).
3.
Beluk dan rengkong
Beluk dan
rengkong merupakan dua jenis kesenian masyarakat Kampung Naga yang sudah jarang
dijumpai. Dilihat dari fungsinya, terutama seni beluk mencerminkan fungsi
solidaritas sosial antara satu warga dengan warga lainnya.
Seni beluk
merupakan salah satu tembang Sunda yang banyak menggunakan nada-nada tinggi.
Para pemainnya terdiri dari empat orang atau lebih. Kesenian ini biasa
dimainkan pada malam hari, dan para pemain secara bergiliran membaca syair lagu
dan kemudian menyanyikannya. Isi nyanyian biasanya diambil dari wawacan.
Wawacan adalah cerita yang menggunakan Bahasa Sunda.
Wawacan dalam
seni beluk biasanya ditulis dalam huruf Arab. Sedangkan tema ceritanya diangkat
dari kisah-kisah kepahlawanan Shahabat Ali bin Abi Thalib dalam menyebarkan
agama Islam. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan Tradisi, hal105-106).
4.
Terebang Sejat
Terebang sejat merupakan alat musik yang dimainkan oleh 6 orang dan
dilaksanakan pada waktu upacara pernikahan atau khitanan massal.
C.
Bahasa Masyarakat Kampung Naga
Dalam
kesehariannya, masyarakat kampung naga mayoritas berkomunikasi menggunakan
bahasa Sunda sebagai bahasa utamanya. Adapula masyarakat kampung naga yang bisa
berbahasa Indonesia itupun hanya digunakan apabila bercakap – cakap dengan
wisatawan.
D.
Peranan pemimpin Informal dalam
Masyarakat Kampung Naga
Setiap masyarakat adat selalu mempunyai dua pemimpin. Pemimpin pertama
sering disebut pemimpin formal, merupakan perpanjangan birokrasi. Sedangkan
pemimpin yang kedua adalah Kepala Adat. Karena tidak mempunyai hubungan
langsung dengan birokrasi, kepala adat sering disebut pemimpin in formal.
Dalam birokrasi terdapat kepala RT, Kepala RW, dan Kepala Dusun atau yang
biasa disebut dengan Kudus. Sedangkan kepemimpinan in formal
di Kampung Naga adalah:
1.
Kuncen
Kepala adat
dalam masyarakat Kampung Naga disebut Kuncen. Kuncen adalah juru kunci
(tempat-tempat keramat dan sebagainya) yang juga mengetahui riwayat tempat yang
dijaganya. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
hal. 541) Kata lain dalam bahasa Sunda sama dengan pancen atau tugas. Seorang
Kuncen sama artinya dengan orang yang mengemban tugas atau pancen. Namun,
karena sebagian besar tugas Kuncen dipegang oleh kaum laki-laki, mereka biasa
disebut pula sebagai Pakuncen. (Her Suganda, Kampung Naga Mempertahankan
Tradisi, hal.35)
Dalam
masyarakat Kampung Naga, Kuncen merupakan pemangku adat sekaligus pemimpin
masyarakat. (M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga
Tasikmalaya, hal. 36) Kuncen memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi masyarakatnya, baik yang berhubungan dengan adat, maupun dengan tugas-tugas
dari pemerintahan setempat. Tugas lain yang dimiliki Kuncen adalah bertanggung
jawab untuk menjaga, melaksanakan dan memimpin acara-acara adat.
Kuncen
merupakan orang terpilih yang ditentukan oleh sesepuh masyarakat Kampung Naga.
Kuncen Kampung Naga diangkat berdasarkan keturunan dari Kuncen-Kuncen
sebelumnya. Masa tugas Kuncen adalah selama hayat masih dikandung badan (seumur
hidup). Kecuali dengan beberapa alasan diantaranya sudah terlalu tua, atau
tidak bisa menetap di Kampung Naga, sehingga secara otomatis tidak secara
langsung memimpin disana.
2.
Lebe
Lebe atau
amil adalah orang yang bertugas untuk mengurus orang yang sudah meninggal. Dia
bertanggung jawab untuk mengurus mulai dari awal sampai akhir yaitu penguburan
dan acara tahlilan. Selain itu, lebe juga bertugas menjadi pemimpin do’a dalam
setiap acara ritual di Kampung Naga. (Maun, Punduh Adat Kampung Naga,
Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
3.
Punduh adat
Punduh adat
di Kampung Naga bertugas untuk ngurus laku meres gawe. Ngurus laku berarti
mengurus dan memperhatikan perilaku masyarakat. Sedangkan meres gawe berarti
bertanggung jawab memimpin pekerjaan bersama yang dilakukan masyarakat.
Misalkan membangun rumah, memperbaiki mesjid, bale dan sebagainya. (Maun,
Punduh Adat Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 30 Juli 2007)
Selain itu
tugas punduh adat adalah menjadi penasehat baik Kuncen maupun masyarakat.
Punduh adat mempunyai hak untuk memberi masukan atau nasehat kepada Kuncen
dalam mengambil keputusan. Bagi masyarakat punduh adat juga mempunyai wewenang
untuk menasehati atau bahkan menegur masyarakat yang melanggar adat.
Kesehariannya, punduh adat harus selalu berada di dalam kampung agar dapat
selalu mengawasi detail kehidupan masyarakatnya.
4.
Jajaran Sesepuh
Jajaran
sesepuh merupakan korps sesepuh Kampung Naga. Termasuk didalamnya lebe dan
punduh adat. Hanya saja jajaran sesepuh ini ditambah dengan sesepuh-sesepuh
dari sanaga. Sanaga artinya masyarakat yang masih mengatut dan mengikut
aturan-aturan adat yang ada di Kampung Naga. Sesepuh sanaga merupakan
perpanjangan Kuncen. Mereka bertugas selain sebagai penasehat bagi Kuncen juga
sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap sanaga jika ada acara-acara
ritual di Kampung Naga, atau ada acara lain yang memerlukan bantuan mereka. (Henhen
Suhenri, Wakil Kuncen Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007)
5.
Patunggon Bumi Ageung
Patunggon
Bumi Ageung merupakan wanita paruh baya yang menjadi penunggu Bumi Ageung.
Wanita patunggon haruslah merupakan wanita yang sudah menapouse. Ia bertugas
menjadi penjaga dan pemelihara Bumi Ageung. Selain itu ia juga yang nanti
bertugas membawa kendi yang berisi air untuk dipakai berkumur oleh Kuncen dan
lebe dalam rangkaian acara ritual Hajat Sasih.
Adapun
pemimpin formal yang ada di Kampung Naga hanya terdiri dari satu ketua Rukun
Tetangga (RT). Ia bertugas sebagaimana tugas-tugas RT di tempat lain. (Rismana,
Ketua RT Kampung Naga, Wawancara, Tasikmalaya, 03 Agustus 2007) Hanya saja
secara adat, ketua RT yang ada di Kampung Naga hanya pelaksana teknis dari
hasil-hasil kompromi antara pemangku adat dengan pemerintah setempat. Setiap
rencana kegiatan di kampung atau kegiatan yang diturunkan dari desa, senantiasa
dibawa terlebih dahulu ke musyawarah kampung yang diadakan di bale kampung.
Musyawarah dipimpin langsung oleh Kuncen, sementara anggota musyawarah terdiri
dari para sesepuh Kampung Naga sebagai penasehat dan narasumber bagi Kuncen.
(M. Ahman Sya dan Awan Mutakin, Masyarakat Kampung Naga Tasikmalaya,
E.
Organisasi Sosial Masyarakat Kampung Naga
Berdasarkan pada pemaparan kepala dusun kampung naga
bapak Suharyo pada 19 januari 2014. Masyarakat kampung naga menganut system kekerabatan patrilineal
yaitu garis keturunan di tarik dari garis laki-laki atau pihak ayah, terutama
dalam pemilihan kuncen yang bersifat turun temurun.
Sistem pernikahan di masyarakat kampung naga
bersifat eksogami dalam artian pernikahan bisa berlangsung keluar dan kedalam
masyarakat. Misalkan antara pemuda kampung naga dengan pemudi di luar kampung
naga, maupun sebaliknya. Dalam pernikahan di masyarakat kampung naga tidak ada
sistem perjodohan, karena berpijak pada petuah sesepuh bahwa jodo, pati, bagja cilaka, rahasiah Allah (jodoh,
mati, bahagia, sengsara, rahasia Allah), sespuh bekata bagi laki-laki silahkan
cari perempuan, bagi perempuan silakan cari laki-laki, baik berbeda suku,
berbeda bahasa, atau warna kulit tidak jadi masalah asalkan satu agama yaitu
muslim.
Upacara pernikahan di kampung naga bisa dikatakan
cukup sederhana tidak ada istilah undangan, hanya kabar dari mulut kemulut,
acara akad nikah di langsungkan di mesjid kampung, setelah itu ada syukuran
dari pihak keluarga mempelai. Masyarakat kampung naga percaya bahwa
kelanggengan suatu pernikahan tidak bisa di jamin oleh kemeriahan pesta.
Masyarakat kampung naga tidak ada yang melakukan pernikahan polgami atau
pernikahan lebih dari 1 dalam waktu yang satu waktu ada dalam aturan adatnya
bahwa “hiji teu seep, sapuluh teu wareg” maksudna
satu istri pun tidak habis, dan sepuluh tidak akan cukup. Untuk masalah tempat tinggal
setelah menikah, diserahkan kepada pasangan yang bersangkutan, tidak ada
paksaan untuk tinggal di area kampung naga, atau keluar area, apabila seseorang
ingin masuk ke dalam masyarakat adat kampung naga harus tunduk dan patuh pada
aturan adat yang ada di masyarakat.
Organisasi
kemasyarakatan kampung naga antara lain
1. Paguyuban
karinding
2. Paguyuban
pemandu wisata kampung adat
3. Pertemuan
para pemimpin adat.
F.
Kearifan Lokal Masyarakat Kampung Naga
Masyarakat kampung naga memiliki pembagian hutan
yaitu Leuweng rarangan (hutan larangan) dan leuweng Karamat (hutan keramat).
Leuweng rarangan, adalah hutan yang tidak boleh di
jamah oleh masyarakat bahkan di injak pun tidak boleh. Nilai yang bisa di ambil
dari hutan larangan ini adalah hutan ini sebagai penyeimbang lingkungan,
terutama lingkungan kampung naga yang landai, hutan ini sebagai cadangan
oksigen, pencegah longsor, pencegah banjir dan sebagai cadangan air tanah.
Leuweng karamat atau hutan kramat adalah hutan yang
di keramatkan, hutan ini di peruntukan untuk pemakaman ada tiga jenis pemakaman
yaitu pemakaman khusus untuk para leluhur, pemakaman umum, dan pemakaman khusus
untuk bayi. Pemakaman bayi di pisahkan karena ukurannya kecil, takutnya jika di
satukan tidak akan terlihat karena ukuranny yang kecil.
Falsafah hidup yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
kampung naga antara lain:
Kanggo
tatali ka agama sareung darigama (untuk hal-hak yang berkaitan dengan agama dan
nonagama):
1. Panyaur
gancang temonan(panggilan cepat penuhi)
2. Parentah
gancang lakonan(perintah cepat laksanakan)
3. Pamundut
gancang caosan(permnitaan cepat penuhi). Saupami teuaya kauduran agama sareng
darigama ( jika tidak ada halangan agama dan nonagama).
Adapun peribahasa yang ada di masyarakat yang
menujukan keperibadian masyarakat kampung naga adalah “saur elingkeun, alam
jeung zaman kaulaan” maksudnya bahwa semua tuntunan dan pesan dari nenek moyang
harus terus di pegang dan di sampaikan, dan zaman juga harus di ikuti, secara
singkatnya adalah masyarakat kampung naga harus bertindak local, dan berpikir
global.
G.
Adat istiadat Masyarakat Kampung Naga
Upacara adat
1. Ziarah
ke makam leluhur yang terdiri dari 6
waktu dalam setahun
·
Muharram, untuk
menyambut tahun baru islam
·
Robiul awal, untuk
memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW.
·
Jumadil akhir, pada
pertangahan tahun
·
Syaban, untuk menyambut
ramadhan
·
Idul fitri, karena
telah melaksanakan puasa ramadhan.
·
Idul adha.
2. Upacara
pemakaman yang terdiri dari
·
Nyusur tanah dilakukan sebelum pemakaman
·
Tilu dintenan(tiga hari
setelah kematian) masyarkat berkumpul untuk mendoakan almarhum.
·
Tujuhna( tujuh hari
setelah kematian) masyarakat berkumpul di rumah duka untuk mendoakan almarhum,
dengan membaca alquran 30 juz dalam waktu 7 hari, dan jika berkanan di sertai
tahlil
·
40 dintenan( 40 hari
setelah kematian) masyarkat berkumpul untuk mendoakan almarhum dengan membaca
alquran 30 juz.
3.
Syukuran setelah panen,
hasil panen di kumpulkan di suaru tempat dan kemudian di adakan syukuran atas
hasila panen yang di peroleh, setelah itu para ibu akan menumbuk padi
berbarengan.
Hukum adat
Masyarakat kampung naga memiliki beberapa larangan,
yaitu kat Pamali, kata Pamali mengandung amanat, wasiat dan akibat. Adapun
larangannya antara lain:
1. Bangunan
Merubah bentuk dan bahan yaitu bentuknya rumah panggung dan bahannya kayu dan
ijuk.
2. Hari
yang dilarang, dalam satu minggu ada 3 hari yang di tabukan antara lain selasa,
rabu, dan sabtu. Dalam setahun ada dua bulan yang di tabukan yaitu bulan
Ramadhan dan safar. Hal-hal yang di larang pada hari dan bulan di atas antara
lain: tidak boleh Ziarah ke makam, tidak boleh menceritakan silsilah kampung
naga.
3.
Memasuki hutan
larangan.
4.
Dalam keseharian
bersikap antara lain:
Tidak boleh
ngawadon (main permpuan)
Tidak boleh judi
Tidak boleh
berbohong
Tidak boleh
madat (mabuk-mabukan)
Tidak boleh
jalir jangji (ingkar janji)
Tidak boleh
nyidra tina subaya ( tidak menepati janji)
Tidak boleh iri,
dengki, jail, aniaya
5. Ketika
kita tidur atau duduk berselonjor kaki tidak boleh menghadap ke kiblat, ketika
buang air tidak boleh menghadap ke kiblat.
6. Tidak
boleh mendirikan bnngunan di tempat yang dulunya bekas lumbung padi, dan depok.
Pergaulan dan tata karama Masyarakat kampung naga
tidak membatasi bergaul dengan siapapun dari agama manapun, dari suku manapun
dan bahasa apapun. Adapun beberapa hal yang di pegang teguh masyaraykat kampung
naga antara lain hidup gotong royong, hidup sederhana, hidup bersama alam.
kerja bagus
BalasHapusApa faktor pendorong dan penghambat kampung naga?
BalasHapusbagus banget sangat membantu, laporannya lengkap sekali, semangat terus bloggernya!!! terimakasih hehe
BalasHapus